Advertisement

Selasa, 03 Mei 2016

MAKALAH ILMU FIKIH ‘’KAIDAH-KAIDAH USHULIYYAH: ‘AM DAN KHAS-AMR DAN NAHI”



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Kaidah ushuliyyah adalah kaidah yang berkaitan dengan bahasa. Dan kaidah ushuliyyah ini juga merupakan kaidah yang sangat penting, karena kaidah ushuliyyah merupakan media atau alat untuk menggali kandungan makna dan hukum yang tertuang dalam nash Alquran dan As-Sunnah. Kaidah-kaidah ushuliyah di sebut juga kaidah Istinbat atau kaidah Lugawiyah.
Memahami redaksi Al-Qur’an dan Al-Hadits bagaikan menyelam ke dalam samudra yang dalam lagi luas dibutuhkan kunci, metode dan keilmuan khusus untuk sampai ke sana sehingga kita bisa mengetahui maksud dan tujuan nash Al-Qur’an dan Al-Hadits baik dari sudut teks maupun dari aspek makna. Diantara beberapa pembahasan yang berkaitan dengan Ilmu Ushul Fiqih yang didalamnya terdapat kaidah-kaidah (ushuliyah) yaitu tentang ‘Am, Khas, Amr, dan Nahi.
Ilmu ushul fiqh menyajikan berbagai cara dari berbagai aspeknya untuk menimba pesan-pesan yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Untuk memahami teks-teks dari dua sumber yang berbahasa Arab tersebut, para ulama telah menyusun semacam sistematik yang akan digunakan dalam praktek penalaran fiqih. Bahasa Arab menyampaikan suatu pesan dengan berbagai cara dan dalam beberapa tingkat kejelasannya.
Secara garis besar, metode istinbath dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu segi kebahasaan, segi mawasid(tujuan) syari’ah, dan segi penjelasan beberapa dalil yang bertentangan. Ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an dalam menyampaikan ajaran Allah dan begitu juga Sunnah Rasulullah ada yang berbentuk amr(perintah), nahi(larangan), dan takhyir(pilihan). dari tiga kategori ayat-ayat hukum itulah terbentuk hukum-hukum, seperti wajib, mandub, haram, makruh dan mubah. dalam makalah ini, yang akan dibahas adalah masalah metode istinbath bila dilihat dari segi kebahasaan yang berbetuk amr(perintah) dan nahi (larangan).
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, adapun rumusan masalah yang dapat di ambil, sebagai berikut:
1.      Apa pengertian ‘Am, Khas, Amr dan Nahi?
2.      Apa sajakah hukum-hukum ‘Am, Khas, Amr dan Nahi?
3.      Bagaimana kedudukan ‘Am, Khas, Amr dan Nahi?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ushuliyyah
Kaidah ushuliyyah adalah kaidah yang berkaitan dengan bahasa. Dan kaidah ushuliyyah ini juga merupakan kaidah yang sangat penting, karena kaidah ushuliyyah merupakan media atau alat untuk menggali kandungan makna dan hukum yang tertuang dalam nash Alquran dan As-Sunnah. Kaidah-kaidah ushuliyah di sebut juga kaidah Istinbat atau kaidah Lugawiyah.
Disebut kaidah istinbat karena kata istinbat bila dihubungkan dengan hukum, seperti dijelaskan oleh Muhammad bin ‘Ali al-Fayyumi (w.770 H) ahli Bahasa Arab dan Fikih, berarti upaya menarik hukum dari Alquran dan Sunnah dengan jalan Ijtihad. Secara garis besar, metode istibat dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu segi kebahasaan, segi maqasid (tujuan) syari’ah, dan segi penyelesaian beberapa dalil yang bertentangan[1].
Disebut kaidah lughawiyyah karena berdasarkan makna dan tujuan ungkapan-ungkapan yang telah di terapkan oleh para ahli bahasa Arab, sesudah diadakan penelitian-penelitian yang bersumber dari kesusasteraan Arab. Dalam hal ini para ulama ushul telah menjadi kebiasaan mereka membicarakan masalah bahasa dan pengertian pengertiannya terlebih dahulu sebab mereka sangat mementingkan untuk mengetahui ciri suatu lafaz (kata) atau uslub (gaya bahasa) karena ciri-ciri itu dapat memberi pengertian tertentu yang dipandang lebih tepat[2].
B.     Kaidah-Kaidah Ushuliyyah
Ada beberapa kaidah-kaidah ushuliyyah, antara lain:
1.      Am’ dan Khas
Menurut para ulama Ushul Fiqih ayat-ayat hukum bila dilihat dari segi cakupannya dapat dibagi kepada lafal umum (‘am) dan lafal khusus (khas)[3]




a.       Pengertian am’ dan khas
1)      Pengertian ‘Am
Ditinjau dari segi bahasa, kata ‘amm berarti yang umum, merata, dan menyeluruh. Sedangkan ‘amm menurut Istilah yaitu sebagaimana dipaparkan oleh Abdul Hamid sebagai berikut:

                                                اَلْعَامُ هُوَاللَّفْظُ اْلمُسْتَغْرِقُ بِجَمِيْعِ ماَيَصْلُحُ لَهُ بِحَسْبِ وَضْعٍ وَاحِدٍ دَفْعَة

Artinya:
‘‘Amm adalah lafal yang menunjukkan pengertian umum yang mencakup satuan-satuan (afrad) yang ada dalam lafal itu tanpa pembatasan jumlah tertentu”.
Dengan pengertian lain, ‘am adalah kata yang memberi pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam kata itu dengan tidak terbatas.Misalnya Al- Insan yang berarti manusia. Perkataan ini mempunyai  pengertian umum, jadi semua manusia termasuk dalam tujuan perkataan ini,sekali mengucapkan lafadz Al- Insan berarti meliputi jenis manusia seluruhnya. Jadi, dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwasanya keumuman merupakan bagian dari sifat – sifat lafadz. Karena keumuman adalah dalalah lafadz terhadap penghabisan seluruh satuan – satuannya.Sesungguhnya lafadz apabila menunjukkan pada satu individu atau dua individu, atau jumlah terbatas daripada individu – individu maka ia tidaklah termasuk lafadz umum[4].
Pembahasan lafaz ‘am dalam kajian Ushul Fiqih mempunyai kedudukan tersendiri, karena lafaz ‘am mempunyai tingkat yang luas serta menjadiperdebatan panjang di kalangan ulama dalam menetapkan hukum. Di sisi lain, sumber hukum Islam baik dari Alquran maupun hadis dalam banyak hal memakai lafaz umum yang bersifat universal dan cosmopolitan. Jumhur ulama menetapkan bahwa lafaz umum itu sebenarnya mempunyai bentuk-bentuk obyek tertentu walaupun tanpa qarinah. Sedangkan menurut Muhammad Ibnu Muntab dari golongan Malikiyah, dan Muhammad Ibnu Syuja’ dari golongan Hanafiyah menyatakan bahwa umum itu tidak mempunyai bentuk-bentuk tertentu kecuali menggunakan penyertaan.
2)      Pengertian Khas
Khas adalah isim fail yang berasal dari kata kerja :خَصَّصَ – يُخْصِّصُ – يُخْصِيْصًا - خَاصِّ
"“ yang mengkhususkan atau menentukan”.
Seperti dikemukakan Adib Saleh, lafal khas adalah lafal yang mengandung satu pengertian secara tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas. Para ulama sepakat, seperti yang disebutkan Abu zahrah, bahwa lafal khas dalam nash syara’ menunjuk pada pengertiannya yang khas secara qath’i (pasti) dan hukum yang dikandungnya bersifat pasti pula selama tidak ada indikasi yang menunjukkan pengertian lain[5]
Adapun lafadz Khas  menurut bahasa ialah lafadz  yang menunjukkan arti yang tertentu, tidak meliputi arti umum, dengan kata lain, khas itu kebalikan dari `âm. Menurut istilah, definisi khas adalah  lafadh yang diciptakan untuk menunjukkan pada perseorangan tertentu. Seperti Muhammad. Atau menunjukkan satu jenis, seperti lelaki. Atau menunjukkan beberapa satuan terbatas, seperti tiga belas, seratus, sebuah kaum, sebuah masyarakat, sekumpulan orang, sekelompok orang dan lain sebagainya yang terdiri dari lafadz yang menunjukkan sejumlah individu dan tidak menunjukkan terhadap seluruh individu. Artinya tidak mencakup semua, namun hanya berlaku untuk sebagian tertentu.
Dari definisi yang dikemukakan tersebut mengidenfikasikan bahwa lafaz musyatarak dan lafaz am tidak masuk dalam defines ini karena lafdz musyatarak mengandung beberapa kemungkinan makna. Sedangkan lafaz am mengandung arti secara umum dan tidak tertentu dari lafaz itu. Adapun dari cara penunjukan lafaz atas suatu arti ini bisa dalam berbagai bentuk yaitu bentuk genius seperti lafaz insanun yang diperuntukan untuk hewan yang berfikir atau berbentuk spesies (nau) seperti kata laki-laki dan perempuan atau dalam bentuk personal yang berbeda-beda tetapi terbatas seperti bilangan angka (1, 3, 10. 80. 1000) dan seterusnya.
b.      Hukum ‘Am dan Khas
1)      Hukum Am’
Para Ulama sepakat bahwa lafazh ‘am yang disertai qarinah (indikasi) yang menunjukkan penolakan adanya takhsis adalah qat’i dilalah. Mereka pun sepakat bahwa lafazh ‘am yang disertai qarinah yang menunjukkan bahwa yang dimaksudnya itu khusus, mempunyai dilalah yang khusus pula.  Yang menjadi perdebatan pendapat disini ialah lafazh ‘am yang mutlaq tanpa disertai suatu qarinah yang menolak kemungkinan adanya takhsis, atau tetap berlaku umum yang mencakup satuan-satuannya[6].
Menurut Hanafiyah dilalah ‘am itu qath’i, yang dimaksud qath’i menurut hanafiyah ialah :“Tidak mencakup suatu kandungan, yang menimbulkan suatu dalil.
Namun, bukan berarti tidak ada kemungkinan takhsis sama sekali. Oleh karena itu, untuk menetapkan ke-qath’i-an lafazh ‘am, pada mulanya tidak boleh di takhsis sebab apabila pada awalnya sudah dimasuki takhsis, maka dilalahnya zanni.
Mereka beralasan, ”sesungguhnya suatu lafazh apabila dipasangkan pada suatu makna itu berketetapan yang pasti, sampai ada dalil yang mengubahnya.
Berdasarkan penelitian terhadap nash telah diperoleh ketetapan bahwa lafaz yang umum (amm) ada tiga macam, yaitu:
a)      Lafaz amm yang dimaksudkan keumumannya secara pasti, yaitu lafaz amm yang disertai oleh qarinah yang menghilangkan kemungkinan pentakhsisannya.
b)      Lafaz yang umum yang dikehendaki kekhususannya secara pasti. Yakni lafaz umum yang disertai oleh qarinah yang menghilangkan keumumannya dan menjelaskan bahwa yang dimaksud dari lafaz itu adalah sebagainnya.
c)      Lafaz amm (umum) yang ditakhisis, yaitu lafaz yang umum yang bersifat muthlaq, dan tidak ada qarinah yang menyertainya yang menyertainya yang meniadakan kemungkinan pengtakhsisannya, maupun qarinah yang menghilangan dalam umumnya.
2)      Hukum Khas
Lafaz yang terdapat pada nash menunjukkan satu makna tertentu dengan pasti selama tidak ada dalil yang mengubah maknanya. Dengan semikian, apabila ada suatu kemungkinan arti lain yang tidak berdasar pada dalil, maka ke qathian dilalahnya tidak terpengaruhi.
Oleh karena itu, apabila lafaz khas dikemukakan dalam bentuk mutlaq, tanpa batasan apapun, maka lafaz itu memberi faedah hukum secara mutlak selama tidak ada dalil yang membatasinya. Dan bila lafaz itu dikemukakan dalam bentuk perintah, maka ia menunjukkan berupa tuntutan kewajiban bagi orang yang diperintahkan (ma’mur bih)selama tidak ada dalil yang memalingkannya dari makna yang lain yang dikandungnya. Demikian juga, jika lafaz itu dalam bentuk laragan (nahy), maka ia menunjukkan keharaman untuk dilakukan dari perbuatan itu selama tidak ada indikasi (qarinah) yang merubah makna itu.
Kata tsalasah mengandung pengertian khas yang tidak mungkin mengandung arti lebih atau kurang dari makna yang di kehendaki oleh lafaz itu sendiri yaitu tiga. Oleh karena itu, penunjukkan makna yang dikandungnya adalah sesuatu yang pasti (qath’i).
Terhadap adanya kemungkinan untuk ditakwil dalam lafaz khas, para pengikut mazhab Hanafi telah memalingkan arti lafaz khas tersebut dari maknanya yang haqiqi dalam beberapa nash karena adanya qarinah yang mengharuskan pemalingan artinya yang hakiki dan karena adanya maksud untuk memberi makna yang lain melalui maksud yang terkandung dalam dalil tersebut.
Hukum lafaz khas secara garis besar adalah bahwasannya apabila ada nash syar’i, maka ia menunjukkan dengan dalalah yang qath’i terhadap maknanya yang khusus yang ditetapkannya untuknya secara hakekat. Sedangkan hukum bagi madlulnya (yang ditunjukinya) tetap secara pasti, bukan dengan jalan zhann (dengan kuat)[7].
Hukum yang diambil hadis Nabi saw:


Artinya:
”Pada tiap-tiap empat puluh ekor kambing adalah seekor kambing”.
Adalah penentuan nishab kambing yang wajib dikeluarkan zakatnya yaitu: empat puluh ekor kambing. Penentuan yang wajib adalah seekor kambing, tidak mengandung kemungkinan lebih atau kurang, baik pada yang ini maupun yang itu.
Akan tetapi apabila ada dalil yang menuntut pentrakwilan lafaz yang khusus ini, maksudnya dibawakan kepada pengertian yang dituntut oleh dalil itu. Misalnya hal ini ialah penjelasan yang telah kami kemukakan dalam mentakwilkan ”kambing” dalam hadis terdahulu oleh ulama Hanafiyyah, dengan sesuatu yang meliputinya dan meliputi segala bentuk penggantian yang sebanding dengan sesuatu yang dirusakkan.
c.       Kedudukan ’Am dan Khas
1)      Kedudukan ’Am 
Pada dasarnya pada pemahaman dalalah lafal al-‘am, ulama ushul telah sepakat bahwa keumuman lafal nash itu tetap saja dalam keumumannya jika tidak ada dalil yang dapat dijadikan sebagai dasar pengkhususannya. Akan tetapi, kalangan jumhur menegaskan sedapat mungkin keumuman lafal nash itu harus diupayakan mencari takhsisnya, baik dengan akal, adat maupun dengan nash itu sendiri.
Persoalannya sekaran adalah apakah lafal al-‘am itu qhat’i atau zhanny? Tentang hal ini kalangan ulama berbeda pendapat. Menurut ulama dari mazhab Hanafi, bahwa dalalah lafaz al-‘am itu adalah qhat’i bukan zhanny dan ia seperti dalalah lafaz al-kahs dari segi maknanya.  Kalangan ulama hanafi seperti  dijelaskan oleh Zaky al-Din Sya’ban, beralasan bahwa, sesungguhnya lafal al-‘am itu mengandung makna yang pasti, tegas sampai ada dalil yang menyalahinya. Atas dasar ini kalangan ulama Hanafi mengemukakan kaidah:
“ apa bila terdapat suatu lafal yang umum, maka maksud seluruh satuan –satuan yang erdapat didalamnya adalah qhat’i sampai ada dalil yang mengkhususkan dan membatasi sebagian dari satuan-satuan yang tercakup didalamnya”.
Kemudian dari kalangan jumhur ulama, seperti dari mazhab syafi’i menyatakan bahwa dalalah lafal al-‘am itu adalah zhanny buka qhat’i. oleh karena itu setiap lafal al-‘am haruslah di takhsis sebelum diamalkan.
            Kalangan Syafi’iyah , malah menegaskan:
                                                                  مَامِنْ عَامٍ إِلَّا وَقَدْ خُصَّ مِنْهُ الْبَعْضَ
“lafal al-‘am tidak dapat diamalkan, kecuali setelah dikhususkan sebagian dari satuan-satuannya”.[8]
Dari pandangan syafi’iyah ini jelas bahwa bagaimanapun juga lafal al-‘am itu, sedapat mungkin harus di khususkan, karena keadaan zhanny.
Menurut jumhur ulama (Malikiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah) bahwa dilalah ’am itu adalah dzanni. Dengan alasan, dilalah ’am itu termasuk bagian dari dilalah dzahir yang mempunyai kemungkinan untuk ditakhshish. Dan kemungkinan tersebut pada lafaz am banyak sekali bisa ditemukan. Selama kemungkinan tetap ada, maka tidak dapat dibenarkan untuk menyatakan bahwa dilalahnya adalah qathi.
Oleh karena itu, mereka mengemukakan sebuah statemen qaedah yang berbunyi:
                                                                  مَامِنْ عَامٍ إِلَّا وَقَدْ خُصَّ مِنْهُ الْبَعْضَ
                  Terjemahnya:
“ Tidak ada suatu lafaz am kecuali sudah dimunkinkan untuk di takhsis”.[9]
            Pakar Ushul Fiqih dari kalangan Hanafiyah membantah argument tersebut dengan alasan bahwa: “Kemungkinan tersebut tidak dapat dibenarkan, sebab timbulnya dari ucapan pembicaraan bukan yang muncul dari dalil itu sendiri”[10].
            Konsekuensi dari pendapat ini ialah tidak sah mentakhshishkan lafaz yang umum pada pentakhsishan yang pertama kali dengan dalil zhanni. Sebab dalil zhanni tidak dapat mentakhshiskan dalil yang qath’i. selanjutnya sah mentakhshiskannya dengan dalil zhanni pada pentakhsishkan yang kedua dan ketiga. Karena setelah pentakhshishan yang pertama, lafaz yang umum itu menjadi zhanni pula. Konsekuensinya lagi, bahwa bisa saja terjadi pertentangan antara lafaz umum yang belum ditakhshish dengan lafaz yang khas (yang bersifat khusus) yang qath’i, sebab kedua-duanya adalah dalil qath’i.
            Hujjah mereka terhadap pendapat mereka ialah: bahwasanya lafaz yang umum pada hakekatnya ditetapkan untuk menghabiskan seluruh satuan yang berkenaan dengan maknanya. Sedangkan lafaz ketika dimutlakkan, maka ia menunjukkan atas maknanya secara hakiki dengan pasti.Lafaz yang umum yang terlepas dari qarinah yang mengkhususkannya menunjukkan keumumannya secra pasti. Ia tidak boleh dipalingkan dari maknanya yang hakiki kecuali dalil. Oleh karena inilah, maka para sahabat, tabi’in, dan imam-imam mujtahid beristindal dengan keumuman lafaz-lafaz yang umum yang terdapat dalam nash secara mutlak dari takhshish. Nereka mengingkari pentakhshishannya tanpa dalil. Apabila lafaz yang umum ditakhshish dengan dalil, maka hal ini menunjukkan pemaligannya dari maknanya yang hakiki, yaitu keumumannya, dan menujjukan pada penggunaannya dalam pengertian yang majazi, yaitu makna khusu. Selanjutnya ia mengandung kemungkinan untuk ditakhshiskan pada kedua kalinya, diqiyaskan pada pentakhshishan yang pertama.
            Sebab illat ( alasan) pada takhshish yang pertama mungkin saja terwujud pada satuan yang lainnya. Jadi, seakan-akan takhshish yang pertama membuka lubang pada keumumannya dan memberikan peluang bagi pembukaan lubang-lubang lainnya. Oleh karena inilah, maka lafaz yang umum ditakhshishkan menjadi zhanni dalalahnya terdapat sesuatau yang tersisa setelah takhshish.
2)      Kedudukan Khas
       Menurut jumhur ulama, arti kata empat puluh ekor kambing dan seekor kambing, keduanya adalah lafadh khas. Karena kedua lafadh tersebut tidak mungkin diartikan lebih atau kurang dari makna yang ditunjuk oleh lafadh itu sendiri.
       Dengan demikian, dalalah lafadh tersebut adalah qath’iy. Tetapi menurut Ulama Hanafiyah, dalam hadits tersebut terdapat qarinah yang mengalihkan kepada arti yang lain. Yaitu bahwa fungsi zakat adalah untuk menolong fakir miskin. Pertolongan itu dapat dilakukan bukan hanya dengan memberikan seekor kambing, tetapi juga dapat dengan menyerahkan harga seekor kambing yang dizakatkan.
       Pertanyaan yang muncul apakah dalalah al-khas mengandung petunjuk qhat’i, bukan zhanny, kecuali ada dalil yang memalingkan kepada arti lain. Seperti di jelaskan oleh Imam Muhammad Abu Zahra, bahwa dalalah lafal al-khas adalah qhat’i (jelas, tegas). Menurut Zahra hal ini tidak terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama. Demikian juga yang di jelaskan oleh Zaky al-Din Sya’ban bahwa lafal al-Khas menunjukan kecuali ada dalil lain yang mengubahnya.Apa yang dinyatakan Zaky al-Din Sya’ban ini dapat dipahami bahwa meskipun lafal al-Khas tersebut dalalahnya qhat’i, tetapi ada kemungkinan mengalami perubahan jika ada dalil lain yang dapat dijadikan alasan untuk itu. Yang menjadi permasalahan adalah apakah perubahan dalalah lafal al-khas yang qhat’i kepada arti lain dapat dibenarkan atau tidak?
       Dalam hubungan ini ulama berbeda pendapat. Sebagian berpendapat bahwa arti qhat’i yang ditunjukan oleh dalalah lafal al-khas tidak dapat dirubah kepada arti lain, karena ia sudah pasti. Dalam hal ini, Zaky al-Din Sya’ban sendiri kelihatannya mendukung pendapat yang disebut terakhir ini.
       Golongan syafiiyah memandang bahwa lafaz khas itu mempunyai kemungkinan adanya penjelasan atau perubahan, maka dari sisi ini mereka memandang lafaz khas itu sebagai lafaz mujmal. Oleh karena sebab itu, mereka menerima kemungkinan adanya penambahan atas lafaz khas yang terdapat dalam Alquran dengan hadis ahad yang merupakan penjelesannya. Maka menurut golongan ini, tuma’ninah yang diisyaratkan oleh hadis tersebut merupakan penjelasan terhadap ayat Alquran dan termasuk fardu dalam ruku’.
2.      Amr dan Nahi
                   Para pakar Ushul Fiqih menyatakan bahwa hukum syar’I itu adalah khitab ( titah) Allah yang berhubungan dengan perbuatan muallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan dan ketentuan[11].
                   Khitab dalam bentuk tuntutan ada dua bentuk, yaitu tuntutan untuk mengerjakan dan tuntutan untuk meninggalkan. Setiap tuntutan mengandung taklif (beban hukum) atas pihak yang dituntut, dalam hal ini adalah manusia mukallaf. Tuntutan yang mengandung beban hukum untuk dikerjakan disebut perintah atau ‘amar’. Sedangkan tuntutan yang mengandung beban hukum untuk ditinggalkan disebut larangan atau ‘nahy’.
a.       Pengertian Amr dan Hani


1)      Pengertian Amr
             Dalam setiap kata amar mengandung tiga unsur, yaitu: pertama, yang mengucapkan kata amar atau yang menyuruh. Kedua, yang dikenal kata amar atau yang disusun. Ketiga, ucapan yang digunakan dalam suruhan itu.[12]
Lafaz Amar secara bahasa الامر yang berarti perintah atau suruhan. Amar adalah kebalikan dari Nahi yaitu yang berarti larangan. Sedangkan secara istilah, para ulama banyak yang mendefinisikan Amar tersebut diantaranya:
                                                            امر هو يطلب به الآعلى ممن هوأدنى منه فعلا غير كفٍ

“Amar adalah suatu lafaz yang dipergunakan oleh orang yang lebih tinggi derajatnya kepada orang yang lebih rendah untuk meminta bawahannya mengerjakan suatu pekerjaan yang  tidak boleh ditolak”.[13]
             Berdasarkan beberapa definisi amar tersebut dapat kita simpulkan adalah lafaz amar yaitu suatu lafaz yang dipergunakan oleh orang yang lebih tinggi derajatnya kepada orang yang lebih rendah untuk meminta bawahannya mengerjakan suatu pekerjaan yang harus dikerjakannya.
             Menurut mayoritas ulama ushul fiqih, amar adalah : suatu tuntutan (perintah) untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya. Perintah untuk melakukan suatu perbuatan, seperti dikemukakan oleh Khudari Bik dalam bukunya Tarikh al-Tasyri, disampaikan dalam berbagai redaksi antara lain:
a)        Perintah tegas dengan menggunakan kata amara (امر) dan yang seakar dengannya. misalnya dalam ayat:
                                                                                                                                                                        إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Terjemahnya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah larang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi ganjaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. (QS. An-Nahl/16:90)

b)       Perintah dalam bentuk pemberitaan bahwa perbuatan itu diwajibkan atas seseoarang dalam dengan memakai kata kutiba (كتب/diwajibkan). Misalnya, dalam surat al-Baqarah ayat 178:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأنْثَى بِالأنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ
 مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ
 فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Terjemahnya:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih”. (QS. al-Baqarah/2:178)
c)      Perintah dengan memakai redaksi pemberitaan (jumlah khabariyah), namun yang dimaksud adalah perintah. Misalnya, ayat 228 surat al-Baqarah:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ وَلا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ
 بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
 وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Terjemahnya:
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. al-Baqarah/2:228)
d)           Perintah dengan memakai kata kerja perintah secara langsung. Misalnya, ayat 238 surat al-Baqarah:
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ


Terjemahnya:
Peliharalah segala salat (mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah karena Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk. (QS. al-Baqarah/2:238).
e)             Perintah dalam bentuk menjanjikan kebaikan yang banyak atas pelakunya. Misalnya, ayat 245 surat al-Baqarah:
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Terjemahnya:
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan. (QS. al-Baqarah/2:245)
2)      Pengertian Nahi
       Nahi adalah suatu lafaz yang mengandung makna tuntutan meninggalkan sesuatu perbuatan. Nahi yaitu larangan, meninggalkan suatu perbuatan yang dilarang untuk melakukannya. Mayoritas ulama ushul fiqih mendefinisikan nahi sebagai:
Larangan melakukan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya dengan kalimat yang menunjukkan atas hal itu.[14]
       Dalam melarang suatu perbuatan, seperti disebutkan oleh Muhammad Khudri Bik. Allah juga memakai berbagai ragam bahasa. Diantaranya adalah:
1)      Larangan secara tegas dengan memakai kata naha(نهي) atau yang seakar dengannya yang secara bahasa berarti melarang. Misalnya surat an-Nahl ayat 90:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Terjemahnya:
"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.(QS an-Nahl/16:90).

Nabi Saw bersabda yang artinya:
Dari Abi Sa’id Al-Khudri r.a. ia berkata:”Saya telah mendengar Rasulullah SAW. Bersabda “barang siapa diantara kalian melihat kemungkaran hendaklah dia merubahnya dengan tangannya, jika dia tidak mampu, maka dengan lidahnya, dan jika tidak sanggup, maka dengan hatinya. Namun, yang demikian (merubah kemungkaran dengan hati) yaitu adalah selemah-lemahnya iman.”(H.R. Muslim).
2)       Larangan dengan menjelaskan bahwa sesuatu perbuatan itu diharamkan(حرم). Misalnya, ayat 33  surat al-A’raf:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ
مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ
Terjemahnya:
       Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui".(QS. al-A’raf/7:33).
b.      Hukum Amr dan Nahi
1)      Hukum Amr
Suatu bentuk perintah, seperti dikemukakan oleh Muhammad Adib Saleh, Guru Besar Ushul Fiqih Universitas Damaskus, bida digunakan untuk berbagai pengertian, yaitu antara lain :
a)      Mennjukkan hukum wajib seperti perintah untuk salat.
b)      Untuk menjelaskan bahwa sesuatu itu boleh dilakukan, seperti ayat 51 Surah Al-Mukminun:

يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
Terjemahnya:
”Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Mukminun/23:  51)

c)      Sebagai anjuran, seperti dalam ayat 282 surah al-Baqarah:



Terjemahnya:
” Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”. (QS. Al-Baqarah/2: 282)

d)     Untuk melemahkan, misalnya ayat 23 Surah al-Baqarah:
                        وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْصَادِقِينَ
Terjemahnya:
”Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Alquran yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Alquran itu dan ajaklah penolong-penolonmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”. (QS. Al-Baqarah/2: 23)
e)      Sebagai ejekan dan penghinaan, misalnya firman Allah berkenaan dengan orang yang ditimpa siksa di akhirat nanti sebagai ejekan atas diri mereka dalam surah al-Dukhan ayat 49:


Terjemahnya:
”Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia”. (QS. Al-Dukhan/44: 49)
2)      Hukum Nahi
Seperti dikemukakan Adib Saleh, bahwa bentuk larangan dalam penggunaannya menunjukkan berbagai pengertian, antara lain:
a)      Menunjukkan hukum haram, misalnya surat al-Baqarah ayat 221
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik,



b)      Sebagai anjuran untuk meninggalkan, seperti al-Maidah :101
Terjemahnya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”
c)          Penghinaan, dalam surat at-Tahrim ayat 7
Terjemahnya:
“Hai orang-orang kafir, janganlah kamu mengemukakan uzur pada hari ini. Sesungguhnya kamu Hanya diberi balasan menurut apa yang kamu kerjakan”.
               Seperti dikemukakan Adib Saleh, bahwa bentuk larangan dalam penggunaannya mungkin menunjukkan berbagai pengertian, antara lain:
1)      Untuk menunjukkan hukum haram misalnya ayat 221 surat al-Baqarah:
وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ
 حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ
وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Terjemahnya:
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (QS. al-Baqarah/2:221)
2)      Sebagai anjuran untuk meninggalkan, misalnya ayat 101 surat al-Maidah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِنْ تَسْأَلُوا عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْ
آنُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا اللَّهُ عَنْهَا وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Qur'an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu. Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.(QS. al-Maidah/5:101)
3)      Penghinaan, contohnya ayat 7 surat al-Tahrin.     
4)      Untuk menyatakan permohonan, misalnya ayat 286 surat al-Baqarah.
c.       Kedudukan Amr dan Nahi
1)      Kedudukan Amr
Apabila dalam nash (teks) syara’ terdapat salah satu dari bentuk perintah tersebut, maka seperti dikemukakan Muhammad Adib Saleh, ada beberapa kaidah yang mungkin bisa diberlakukan.[15]
Kaidah pertama meskipun dalam suatu perintah bisa menunjukan bebagai pengertian, namun pada dasarnya suatuperintah menunjukan hukum wajib dilaksanakan kecuali ada indikasi atau dalil yang memalingkannya dari hukum tersebut. Kesimpulan ini, di samping didasarkan atas kesepakatan ahli bahasa, juga atas ayat 62 surat an-Nur yang mengancam dan menyiksa orang-orang yang menyalahi perintah Allah. Adanya ancaman siksaan itu menunjukan bahwa suatu perintah wajib dilaksanakan.

Contoh perintah yang terbebas dari indikasi yang memalingkan dari hukum wajib adalah ayat 77 surat an-Nisa:
... Dan dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat...(QS.an-Nisa/3:77)
Ayat tersebut menunjukkan hukum wajib mendirikan solat lima waktu dan menunaikan zakat.
Kaidah kedua adalah suatu perintah haruskah dilakukan berulang kali atau cukup dilakukan sekali saja?, menrt para ulama Ushul Fiqih, pada dasarnya suatu perintah tidak menunjukkan berulang-kali dilakukan kecuali ada dalil untuk itu. Karena suatu perintah hanya menunjukkan perlu terwujudnya perbuatan yang diperintahkan itu dan hal itu sudah bisa tercapai meski pun hanya dilakukan satu kali. Contohnya ayat 196 surat al-Baqarah:
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّه...
Terjemahnya:
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan `umrah karena Allah. (QS. al-Baqarah”/2:196)
Menurut  sebagian ulama, antara lain Abu al-Hasan al-Karkhi. Seperti di nukil Muhammad Adib Shalih, bahwa suatu perintah menunjukkan hukum wajib segera dilakukan. Menurut pendapat ini barang siapa yang tidak segera melakukan di awal waktunya maka ia berdosa.[16]
2)      Kedudukan Nahi
Para ulama Ushul Fiqh merumuskan beberapa kaidah yang berkenaan dengan larangan, antara lain:
Kaidah pertama, الأصل فى النهى للتحريم, pada dasarnya suatu larangan menunjukkan hukum haram melakukan perbuatan yang dilarang kecuali ada indikasi yang menunjukkan hukum lain. Contohnya ayat 151 surat al-An’am.
dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar
Contoh larangan yang disertai indikasi yang menunjukkan hukum selain haram, dalam surat al-Jum’ah : 9
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli[1475]. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui.”
Kaidah kedua,الأصل فى النهى يطلق الفساد مطلقا, suatu larangan menunjukkan fasad (rusak) perbuatan yang dilarang itu jika dikerjakan. Kaidah ini disepakati bilamana larangan itu tertuju kepada zat atau esensi suatu perbuatan, bukan terhadap hal-hal yang terletak diluar esensi perbuatan itu.
Kaidah ketiga,النهي عن الشيئ أمر بضده, suatu larangan terhadap suatu perbuatan berarti perintah terhadap kebalikannya. Seperti dalam surat Luqman : 18
“dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh”
Larangan tersebut mengajarkan agar berjalan di permukaan bumi dengan rendah hati dan sopan.

























BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang di peroleh dari makalah ini, sebagai berikut:
1.      Ada beberapa kaidah-kaidah ushuliyyah yaitu: ‘am dan khas – amr dan nahi,adapun pengertian dari masing-masing kaidah, sebgai berikut:
a.       Amm adalah lafal yang menunjukkan pengertian umum yang mencakup satuan-satuan (afrad) yang ada dalam lafal itu tanpa pembatasan jumlah tertentu
b.      Adapun lafadz Khas  menurut bahasa ialah lafadz  yang menunjukkan arti yang tertentu, tidak meliputi arti umum, dengan kata lain, khas itu kebalikan dari `âm.
c.       Amar adalah suatu lafaz yang dipergunakan oleh orang yang lebih tinggi derajatnya kepada orang yang lebih rendah untuk meminta bawahannya mengerjakan suatu pekerjaan yang  tidak boleh ditolak
d.      Nahi adalah suatu lafaz yang mengandung makna tuntutan meninggalkan sesuatu perbuatan. Nahi yaitu larangan, meninggalkan suatu perbuatan yang dilarang untuk melakukannya.
2.      Hukum-hukum kaidah-kaidah ushuliyyah, sebagai berikut:
a.       Para Ulama sepakat bahwa lafazh ‘am yang disertai qarinah (indikasi) yang menunjukkan penolakan adanya takhsis adalah qat’i dilalah. Mereka pun sepakat bahwa lafazh ‘am yang disertai qarinah yang menunjukkan bahwa yang dimaksudnya itu khusus, mempunyai dilalah yang khusus pula.  Yang menjadi perdebatan pendapat disini ialah lafazh ‘am yang mutlaq tanpa disertai suatu qarinah yang menolak kemungkinan adanya takhsis, atau tetap berlaku umum yang mencakup satuan-satuannya.
b.      Hukum lafaz khas secara garis besar adalah bahwasannya apabila ada nash syar’i, maka ia menunjukkan dengan dalalah yang qath’i terhadap maknanya yang khusus yang ditetapkannya untuknya secara hakekat. Sedangkan hukum bagi madlulnya (yang ditunjukinya) tetap secara pasti, bukan dengan jalan zhann (dengan kuat).
c.       Hukum amar yaitu, Mennjukkan hukum wajib seperti perintah untuk salat, Untuk menjelaskan bahwa sesuatu itu boleh dilakukan, sebagai anjuran dan Sebagai ejekan dan penghinaan.
d.      Hukum nahi yaitu, Menunjukkan hukum haram, Sebagai anjuran untuk meninggalkan, Untuk menyatakan permohonan dan penghinaan.
3.      Kedudukan kaidah-kaidah ushuliyyah, sebagai berikut:
a.       Pada dasarnya pada pemahaman dalalah lafal al-‘am, ulama ushul telah sepakat bahwa keumuman lafal nash itu tetap saja dalam keumumannya jika tidak ada dalil yang dapat dijadikan sebagai dasar pengkhususannya. Akan tetapi, kalangan jumhur menegaskan sedapat mungkin keumuman lafal nash itu harus diupayakan mencari takhsisnya, baik dengan akal, adat maupun dengan nash itu sendiri.
b.      Dengan demikian, dalalah lafadh tersebut adalah qath’iy. Tetapi menurut Ulama Hanafiyah, dalam hadits tersebut terdapat qarinah yang mengalihkan kepada arti yang lain. Yaitu bahwa fungsi zakat adalah untuk menolong fakir miskin. Pertolongan itu dapat dilakukan bukan hanya dengan memberikan seekor kambing, tetapi juga dapat dengan menyerahkan harga seekor kambing yang dizakatkan.
c.       Apabila dalam nash (teks) syara’ terdapat salah satu dari bentuk perintah tersebut, maka seperti dikemukakan Muhammad Adib Saleh, ada beberapa kaidah yang mungkin bisa diberlakukan.
d.      pada dasarnya suatu larangan menunjukkan hukum haram melakukan perbuatan yang dilarang kecuali ada indikasi yang menunjukkan hukum lain.





DAFTAR PUSTAKA
Effendi, Satria., 2005. Ushul Fiqih, Jakarta: Prenadamedia Group.
Khallaf, Abdul Wahab., 1994, Ilmu Ushul Fiqih, Semarang: Toha Putra
Minhajuddin., 2010. Ushul Fiqih II, Makassar: Alauddin Press.
Umam Khoirul , Achyar Aminudin., 2011 Ushul Fiqih II, Bandung: CV Pustaka Setia.




[1]Prof. Satria Effendi, Usul Fiqih Edisi I, Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2005, h. 176
[2] Prof. Minhajuddin, Usul Fiqih II, Makassar: Alauddin Press, 2010, h. 3
[3] Ibid.
[4] Khoirul Umam, Achyar Aminudin, Ushul Fiqih 11, Bandung: CV Pustaka Setia,2001, h. 61
[5] Ibid, h. 205
[6] Ibid, h. 6
[7] Prof. Abdul Wahhab Khallaf, Usul Fiqih, diterjemahkan oleh Drs. Moh. Zuhri dan Drs. Ahmad Qarib, Ilmu Ushul Fiqih, Semarang: Toha Putra, 1994, h. 299
[8] Ibid, h. 301
[9] Ibid.
[10]Minjahuddin, op cit., h. 8
[11] Ibid, h. 20
[12]Minhajuddin, op cit., h. 23
[13] Ibid.
[14] Satria Effendi, op cit., h. 176
[15] Minhajuddin, op cit., h. 44
[16] Abdul wahab khallaf, op cit., h. 308

About Me