MAKALAH ILMU FIKIH ‘’KAIDAH-KAIDAH USHULIYYAH: ‘AM DAN KHAS-AMR DAN NAHI”
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kaidah ushuliyyah adalah kaidah yang berkaitan dengan bahasa. Dan
kaidah ushuliyyah ini juga merupakan kaidah yang sangat penting, karena kaidah
ushuliyyah merupakan media atau alat untuk menggali kandungan makna dan hukum
yang tertuang dalam nash Alquran dan As-Sunnah. Kaidah-kaidah ushuliyah di
sebut juga kaidah Istinbat atau kaidah Lugawiyah.
Memahami redaksi Al-Qur’an dan
Al-Hadits bagaikan menyelam ke dalam samudra yang dalam lagi luas dibutuhkan
kunci, metode dan keilmuan khusus untuk sampai ke sana sehingga kita bisa
mengetahui maksud dan tujuan nash Al-Qur’an dan Al-Hadits baik dari sudut teks
maupun dari aspek makna. Diantara beberapa pembahasan yang berkaitan dengan
Ilmu Ushul Fiqih yang didalamnya terdapat kaidah-kaidah (ushuliyah) yaitu
tentang ‘Am, Khas, Amr, dan Nahi.
Ilmu ushul fiqh menyajikan berbagai
cara dari berbagai aspeknya untuk menimba pesan-pesan yang terkandung dalam
Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Untuk memahami teks-teks dari dua sumber yang
berbahasa Arab tersebut, para ulama telah menyusun semacam sistematik yang akan
digunakan dalam praktek penalaran fiqih. Bahasa Arab menyampaikan suatu pesan
dengan berbagai cara dan dalam beberapa tingkat kejelasannya.
Secara garis besar, metode istinbath
dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu segi kebahasaan, segi mawasid(tujuan)
syari’ah, dan segi penjelasan beberapa dalil yang bertentangan. Ayat-ayat hukum
dalam Al-Qur’an dalam menyampaikan ajaran Allah dan begitu juga Sunnah
Rasulullah ada yang berbentuk amr(perintah), nahi(larangan), dan takhyir(pilihan).
dari tiga kategori ayat-ayat hukum itulah terbentuk hukum-hukum, seperti wajib,
mandub, haram, makruh dan mubah. dalam makalah ini, yang akan dibahas adalah
masalah metode istinbath bila dilihat dari segi kebahasaan yang berbetuk amr(perintah)
dan nahi (larangan).
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas,
adapun rumusan masalah yang dapat di ambil, sebagai berikut:
1. Apa pengertian ‘Am, Khas, Amr dan
Nahi?
2. Apa sajakah hukum-hukum ‘Am, Khas,
Amr dan Nahi?
3. Bagaimana kedudukan ‘Am, Khas, Amr
dan Nahi?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ushuliyyah
Kaidah ushuliyyah adalah kaidah yang berkaitan dengan bahasa. Dan
kaidah ushuliyyah ini juga merupakan kaidah yang sangat penting, karena kaidah
ushuliyyah merupakan media atau alat untuk menggali kandungan makna dan hukum
yang tertuang dalam nash Alquran dan As-Sunnah. Kaidah-kaidah ushuliyah di
sebut juga kaidah Istinbat atau kaidah Lugawiyah.
Disebut kaidah istinbat karena kata istinbat bila dihubungkan
dengan hukum, seperti dijelaskan oleh Muhammad bin ‘Ali al-Fayyumi (w.770 H)
ahli Bahasa Arab dan Fikih, berarti upaya menarik hukum dari Alquran dan Sunnah
dengan jalan Ijtihad. Secara garis besar, metode istibat dapat dibagi kepada
tiga bagian, yaitu segi kebahasaan, segi maqasid (tujuan) syari’ah, dan segi
penyelesaian beberapa dalil yang bertentangan[1].
Disebut kaidah lughawiyyah karena berdasarkan makna dan tujuan
ungkapan-ungkapan yang telah di terapkan oleh para ahli bahasa Arab, sesudah
diadakan penelitian-penelitian yang bersumber dari kesusasteraan Arab. Dalam
hal ini para ulama ushul telah menjadi kebiasaan mereka membicarakan masalah
bahasa dan pengertian pengertiannya terlebih dahulu sebab mereka sangat
mementingkan untuk mengetahui ciri suatu lafaz (kata) atau uslub (gaya bahasa)
karena ciri-ciri itu dapat memberi pengertian tertentu yang dipandang lebih
tepat[2].
B.
Kaidah-Kaidah Ushuliyyah
Ada beberapa kaidah-kaidah ushuliyyah, antara lain:
1.
Am’ dan Khas
Menurut
para ulama Ushul Fiqih ayat-ayat hukum bila dilihat dari segi cakupannya dapat dibagi
kepada lafal umum (‘am) dan lafal khusus (khas)[3]
a.
Pengertian
am’ dan khas
1)
Pengertian
‘Am
Ditinjau dari segi bahasa, kata ‘amm berarti
yang umum, merata, dan menyeluruh. Sedangkan ‘amm menurut Istilah yaitu
sebagaimana dipaparkan oleh Abdul Hamid sebagai berikut:
اَلْعَامُ هُوَاللَّفْظُ اْلمُسْتَغْرِقُ بِجَمِيْعِ ماَيَصْلُحُ لَهُ بِحَسْبِ وَضْعٍ وَاحِدٍ دَفْعَة
Artinya:
‘‘Amm adalah lafal yang menunjukkan pengertian
umum yang mencakup satuan-satuan (afrad) yang ada dalam lafal itu tanpa pembatasan
jumlah tertentu”.
Dengan pengertian lain, ‘am adalah kata yang
memberi pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam kata itu
dengan tidak terbatas.Misalnya Al- Insan
yang berarti manusia. Perkataan ini
mempunyai pengertian umum, jadi semua
manusia termasuk dalam tujuan perkataan ini,sekali mengucapkan lafadz Al- Insan berarti meliputi jenis manusia
seluruhnya. Jadi, dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwasanya
keumuman merupakan bagian dari sifat – sifat lafadz. Karena keumuman adalah dalalah lafadz terhadap penghabisan
seluruh satuan – satuannya.Sesungguhnya lafadz apabila menunjukkan pada satu
individu atau dua individu, atau jumlah terbatas daripada individu – individu
maka ia tidaklah termasuk lafadz umum[4].
Pembahasan lafaz ‘am dalam kajian Ushul Fiqih
mempunyai kedudukan tersendiri, karena lafaz ‘am mempunyai tingkat yang luas
serta menjadiperdebatan panjang di kalangan ulama dalam menetapkan hukum. Di
sisi lain, sumber hukum Islam baik dari Alquran maupun hadis dalam banyak hal
memakai lafaz umum yang bersifat universal dan cosmopolitan. Jumhur ulama
menetapkan bahwa lafaz umum itu sebenarnya mempunyai bentuk-bentuk obyek
tertentu walaupun tanpa qarinah. Sedangkan menurut Muhammad Ibnu Muntab dari
golongan Malikiyah, dan Muhammad Ibnu Syuja’ dari golongan Hanafiyah menyatakan
bahwa umum itu tidak mempunyai bentuk-bentuk tertentu kecuali menggunakan
penyertaan.
2)
Pengertian Khas
Khas adalah isim
fail yang berasal dari kata kerja :خَصَّصَ –
يُخْصِّصُ – يُخْصِيْصًا - خَاصِّ
"“ yang
mengkhususkan atau menentukan”.
Seperti dikemukakan Adib
Saleh, lafal khas adalah lafal yang
mengandung satu pengertian secara tunggal atau beberapa pengertian yang
terbatas. Para ulama sepakat, seperti yang disebutkan Abu zahrah, bahwa
lafal khas dalam nash syara’ menunjuk
pada pengertiannya yang khas secara qath’i
(pasti) dan hukum yang dikandungnya bersifat pasti pula selama tidak ada
indikasi yang menunjukkan pengertian lain[5]
Adapun lafadz Khas
menurut bahasa ialah lafadz yang
menunjukkan arti yang tertentu, tidak meliputi arti umum, dengan kata lain,
khas itu kebalikan dari `âm. Menurut istilah, definisi khas adalah lafadh yang diciptakan untuk menunjukkan pada
perseorangan tertentu. Seperti Muhammad. Atau menunjukkan satu jenis, seperti
lelaki. Atau menunjukkan beberapa satuan terbatas, seperti tiga belas, seratus,
sebuah kaum, sebuah masyarakat, sekumpulan orang, sekelompok orang dan lain
sebagainya yang terdiri dari lafadz yang menunjukkan sejumlah individu dan
tidak menunjukkan terhadap seluruh individu. Artinya tidak mencakup semua,
namun hanya berlaku untuk sebagian tertentu.
Dari definisi yang dikemukakan tersebut mengidenfikasikan
bahwa lafaz musyatarak dan lafaz am tidak masuk dalam defines ini karena lafdz
musyatarak mengandung beberapa kemungkinan makna. Sedangkan lafaz am mengandung
arti secara umum dan tidak tertentu dari lafaz itu. Adapun dari cara penunjukan
lafaz atas suatu arti ini bisa dalam berbagai bentuk yaitu bentuk genius
seperti lafaz insanun yang diperuntukan untuk hewan yang berfikir atau
berbentuk spesies (nau) seperti kata laki-laki dan perempuan atau dalam bentuk
personal yang berbeda-beda tetapi terbatas seperti bilangan angka (1, 3, 10.
80. 1000) dan seterusnya.
b.
Hukum ‘Am dan
Khas
1)
Hukum Am’
Para Ulama sepakat bahwa
lafazh ‘am yang disertai qarinah (indikasi)
yang menunjukkan penolakan adanya takhsis
adalah qat’i dilalah. Mereka pun
sepakat bahwa lafazh ‘am yang disertai qarinah yang menunjukkan bahwa yang
dimaksudnya itu khusus, mempunyai dilalah yang khusus pula. Yang menjadi perdebatan pendapat disini ialah
lafazh ‘am yang mutlaq tanpa disertai suatu qarinah yang menolak kemungkinan
adanya takhsis, atau tetap berlaku umum yang mencakup satuan-satuannya[6].
Menurut Hanafiyah dilalah
‘am itu qath’i, yang dimaksud qath’i menurut hanafiyah ialah :“Tidak mencakup suatu kandungan, yang
menimbulkan suatu dalil.
Namun, bukan berarti tidak ada kemungkinan
takhsis sama sekali. Oleh karena itu, untuk menetapkan ke-qath’i-an lafazh ‘am, pada mulanya tidak boleh di takhsis sebab
apabila pada awalnya sudah dimasuki takhsis, maka dilalahnya zanni.
Mereka beralasan, ”sesungguhnya suatu lafazh
apabila dipasangkan pada suatu makna itu berketetapan yang pasti, sampai ada
dalil yang mengubahnya.
Berdasarkan penelitian
terhadap nash telah diperoleh ketetapan bahwa lafaz yang umum (amm) ada tiga
macam, yaitu:
a)
Lafaz amm yang dimaksudkan keumumannya secara pasti, yaitu lafaz amm yang
disertai oleh qarinah yang menghilangkan kemungkinan pentakhsisannya.
b)
Lafaz yang umum yang dikehendaki kekhususannya secara pasti. Yakni lafaz
umum yang disertai oleh qarinah yang menghilangkan keumumannya dan menjelaskan
bahwa yang dimaksud dari lafaz itu adalah sebagainnya.
c)
Lafaz amm (umum) yang ditakhisis, yaitu lafaz yang umum yang bersifat
muthlaq, dan tidak ada qarinah yang menyertainya yang menyertainya yang
meniadakan kemungkinan pengtakhsisannya, maupun qarinah yang menghilangan dalam
umumnya.
2)
Hukum Khas
Lafaz
yang terdapat pada nash menunjukkan satu makna tertentu dengan pasti selama
tidak ada dalil yang mengubah maknanya. Dengan semikian, apabila ada suatu
kemungkinan arti lain yang tidak berdasar pada dalil, maka ke qathian
dilalahnya tidak terpengaruhi.
Oleh
karena itu, apabila lafaz khas dikemukakan dalam bentuk mutlaq, tanpa batasan
apapun, maka lafaz itu memberi faedah hukum secara mutlak selama tidak ada
dalil yang membatasinya. Dan bila lafaz itu dikemukakan dalam bentuk perintah,
maka ia menunjukkan berupa tuntutan kewajiban bagi orang yang diperintahkan
(ma’mur bih)selama tidak ada dalil yang memalingkannya dari makna yang lain
yang dikandungnya. Demikian juga, jika lafaz itu dalam bentuk laragan (nahy),
maka ia menunjukkan keharaman untuk dilakukan dari perbuatan itu selama tidak
ada indikasi (qarinah) yang merubah makna itu.
Kata
tsalasah mengandung pengertian khas yang tidak mungkin mengandung arti lebih
atau kurang dari makna yang di kehendaki oleh lafaz itu sendiri yaitu tiga.
Oleh karena itu, penunjukkan makna yang dikandungnya adalah sesuatu yang pasti
(qath’i).
Terhadap
adanya kemungkinan untuk ditakwil dalam lafaz khas, para pengikut mazhab Hanafi
telah memalingkan arti lafaz khas tersebut dari maknanya yang haqiqi dalam
beberapa nash karena adanya qarinah yang mengharuskan pemalingan artinya yang
hakiki dan karena adanya maksud untuk memberi makna yang lain melalui maksud
yang terkandung dalam dalil tersebut.
Hukum
lafaz khas secara garis besar adalah bahwasannya apabila ada nash syar’i, maka
ia menunjukkan dengan dalalah yang qath’i terhadap maknanya yang khusus yang
ditetapkannya untuknya secara hakekat. Sedangkan hukum bagi madlulnya (yang
ditunjukinya) tetap secara pasti, bukan dengan jalan zhann (dengan kuat)[7].
Hukum
yang diambil hadis Nabi saw:
Artinya:
”Pada
tiap-tiap empat puluh ekor kambing adalah seekor kambing”.
Adalah
penentuan nishab kambing yang wajib dikeluarkan zakatnya yaitu: empat puluh
ekor kambing. Penentuan yang wajib adalah seekor kambing, tidak mengandung
kemungkinan lebih atau kurang, baik pada yang ini maupun yang itu.
Akan
tetapi apabila ada dalil yang menuntut pentrakwilan lafaz yang khusus ini,
maksudnya dibawakan kepada pengertian yang dituntut oleh dalil itu. Misalnya
hal ini ialah penjelasan yang telah kami kemukakan dalam mentakwilkan ”kambing”
dalam hadis terdahulu oleh ulama Hanafiyyah, dengan sesuatu yang meliputinya
dan meliputi segala bentuk penggantian yang sebanding dengan sesuatu yang
dirusakkan.
c.
Kedudukan ’Am dan Khas
1)
Kedudukan ’Am
Pada dasarnya pada
pemahaman dalalah lafal al-‘am, ulama ushul telah sepakat bahwa keumuman
lafal nash itu tetap saja dalam keumumannya jika tidak ada dalil yang dapat
dijadikan sebagai dasar pengkhususannya. Akan tetapi, kalangan jumhur
menegaskan sedapat mungkin keumuman lafal nash itu harus diupayakan mencari
takhsisnya, baik dengan akal, adat maupun dengan nash itu sendiri.
Persoalannya sekaran
adalah apakah lafal al-‘am itu qhat’i atau zhanny? Tentang
hal ini kalangan ulama berbeda pendapat. Menurut ulama dari mazhab Hanafi,
bahwa dalalah lafaz al-‘am itu adalah qhat’i bukan zhanny
dan ia seperti dalalah lafaz al-kahs dari segi maknanya. Kalangan ulama
hanafi seperti dijelaskan oleh Zaky al-Din Sya’ban, beralasan bahwa,
sesungguhnya lafal al-‘am itu mengandung makna yang pasti, tegas sampai
ada dalil yang menyalahinya. Atas dasar ini kalangan ulama Hanafi mengemukakan
kaidah:
“ apa bila terdapat suatu lafal yang umum, maka
maksud seluruh satuan –satuan yang erdapat didalamnya adalah qhat’i sampai ada
dalil yang mengkhususkan dan membatasi sebagian dari satuan-satuan yang
tercakup didalamnya”.
Kemudian dari kalangan jumhur ulama, seperti
dari mazhab syafi’i menyatakan bahwa dalalah lafal al-‘am itu adalah
zhanny buka qhat’i. oleh karena itu setiap lafal al-‘am haruslah di
takhsis sebelum diamalkan.
Kalangan Syafi’iyah , malah menegaskan:
مَامِنْ عَامٍ إِلَّا وَقَدْ خُصَّ مِنْهُ الْبَعْضَ
“lafal al-‘am tidak dapat diamalkan, kecuali
setelah dikhususkan sebagian dari satuan-satuannya”.[8]
Dari pandangan syafi’iyah ini jelas bahwa
bagaimanapun juga lafal al-‘am itu, sedapat mungkin harus di khususkan, karena
keadaan zhanny.
Menurut
jumhur ulama (Malikiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah) bahwa dilalah ’am itu
adalah dzanni. Dengan alasan, dilalah ’am itu termasuk bagian dari dilalah
dzahir yang mempunyai kemungkinan untuk ditakhshish. Dan kemungkinan tersebut
pada lafaz am banyak sekali bisa ditemukan. Selama kemungkinan tetap ada, maka
tidak dapat dibenarkan untuk menyatakan bahwa dilalahnya adalah qathi.
Oleh
karena itu, mereka mengemukakan sebuah statemen qaedah yang berbunyi:
مَامِنْ عَامٍ إِلَّا وَقَدْ خُصَّ مِنْهُ الْبَعْضَ
Terjemahnya:
“ Tidak ada suatu lafaz am kecuali sudah
dimunkinkan untuk di takhsis”.[9]
Pakar
Ushul Fiqih dari kalangan Hanafiyah membantah argument tersebut dengan alasan
bahwa: “Kemungkinan tersebut tidak dapat dibenarkan, sebab timbulnya dari
ucapan pembicaraan bukan yang muncul dari dalil itu sendiri”[10].
Konsekuensi
dari pendapat ini ialah tidak sah mentakhshishkan lafaz yang umum pada
pentakhsishan yang pertama kali dengan dalil zhanni. Sebab dalil zhanni tidak
dapat mentakhshiskan dalil yang qath’i. selanjutnya sah mentakhshiskannya
dengan dalil zhanni pada pentakhsishkan yang kedua dan ketiga. Karena setelah
pentakhshishan yang pertama, lafaz yang umum itu menjadi zhanni pula.
Konsekuensinya lagi, bahwa bisa saja terjadi pertentangan antara lafaz umum
yang belum ditakhshish dengan lafaz yang khas (yang bersifat khusus) yang
qath’i, sebab kedua-duanya adalah dalil qath’i.
Hujjah
mereka terhadap pendapat mereka ialah: bahwasanya lafaz yang umum pada
hakekatnya ditetapkan untuk menghabiskan seluruh satuan yang berkenaan dengan
maknanya. Sedangkan lafaz ketika dimutlakkan, maka ia menunjukkan atas maknanya
secara hakiki dengan pasti.Lafaz yang umum yang terlepas dari qarinah yang
mengkhususkannya menunjukkan keumumannya secra pasti. Ia tidak boleh
dipalingkan dari maknanya yang hakiki kecuali dalil. Oleh karena inilah, maka
para sahabat, tabi’in, dan imam-imam mujtahid beristindal dengan keumuman
lafaz-lafaz yang umum yang terdapat dalam nash secara mutlak dari takhshish.
Nereka mengingkari pentakhshishannya tanpa dalil. Apabila lafaz yang umum
ditakhshish dengan dalil, maka hal ini menunjukkan pemaligannya dari maknanya
yang hakiki, yaitu keumumannya, dan menujjukan pada penggunaannya dalam
pengertian yang majazi, yaitu makna khusu. Selanjutnya ia mengandung
kemungkinan untuk ditakhshiskan pada kedua kalinya, diqiyaskan pada
pentakhshishan yang pertama.
Sebab
illat ( alasan) pada takhshish yang pertama mungkin saja terwujud pada satuan
yang lainnya. Jadi, seakan-akan takhshish yang pertama membuka lubang pada
keumumannya dan memberikan peluang bagi pembukaan lubang-lubang lainnya. Oleh
karena inilah, maka lafaz yang umum ditakhshishkan menjadi zhanni dalalahnya
terdapat sesuatau yang tersisa setelah takhshish.
2)
Kedudukan Khas
Menurut
jumhur ulama, arti kata empat puluh ekor kambing dan seekor kambing, keduanya
adalah lafadh khas. Karena kedua lafadh tersebut tidak mungkin diartikan lebih
atau kurang dari makna yang ditunjuk oleh lafadh itu sendiri.
Dengan
demikian, dalalah lafadh tersebut adalah qath’iy. Tetapi menurut Ulama
Hanafiyah, dalam hadits tersebut terdapat qarinah yang mengalihkan kepada arti
yang lain. Yaitu bahwa fungsi zakat adalah untuk menolong fakir miskin.
Pertolongan itu dapat dilakukan bukan hanya dengan memberikan seekor kambing,
tetapi juga dapat dengan menyerahkan harga seekor kambing yang dizakatkan.
Pertanyaan
yang muncul apakah dalalah al-khas mengandung petunjuk qhat’i, bukan zhanny,
kecuali ada dalil yang memalingkan kepada arti lain. Seperti di jelaskan oleh
Imam Muhammad Abu Zahra, bahwa dalalah lafal al-khas adalah qhat’i (jelas,
tegas). Menurut Zahra hal ini tidak terdapat perbedaan pendapat dikalangan
ulama. Demikian juga yang di jelaskan oleh Zaky al-Din Sya’ban bahwa lafal
al-Khas menunjukan kecuali ada dalil lain yang mengubahnya.Apa yang dinyatakan
Zaky al-Din Sya’ban ini dapat dipahami bahwa meskipun lafal al-Khas tersebut
dalalahnya qhat’i, tetapi ada kemungkinan mengalami perubahan jika ada dalil
lain yang dapat dijadikan alasan untuk itu. Yang menjadi permasalahan adalah
apakah perubahan dalalah lafal al-khas yang qhat’i kepada arti lain dapat
dibenarkan atau tidak?
Dalam
hubungan ini ulama berbeda pendapat. Sebagian berpendapat bahwa arti qhat’i
yang ditunjukan oleh dalalah lafal al-khas tidak dapat dirubah kepada arti
lain, karena ia sudah pasti. Dalam hal ini, Zaky al-Din Sya’ban sendiri
kelihatannya mendukung pendapat yang disebut terakhir ini.
Golongan
syafiiyah memandang bahwa lafaz khas itu mempunyai kemungkinan adanya
penjelasan atau perubahan, maka dari sisi ini mereka memandang lafaz khas itu
sebagai lafaz mujmal. Oleh karena sebab itu, mereka menerima kemungkinan adanya
penambahan atas lafaz khas yang terdapat dalam Alquran dengan hadis ahad yang
merupakan penjelesannya. Maka menurut golongan ini, tuma’ninah yang
diisyaratkan oleh hadis tersebut merupakan penjelasan terhadap ayat Alquran dan
termasuk fardu dalam ruku’.
2.
Amr dan Nahi
Para
pakar Ushul Fiqih menyatakan bahwa hukum syar’I itu adalah khitab ( titah)
Allah yang berhubungan dengan perbuatan muallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan
dan ketentuan[11].
Khitab
dalam bentuk tuntutan ada dua bentuk, yaitu tuntutan untuk mengerjakan dan
tuntutan untuk meninggalkan. Setiap tuntutan mengandung taklif (beban hukum)
atas pihak yang dituntut, dalam hal ini adalah manusia mukallaf. Tuntutan yang
mengandung beban hukum untuk dikerjakan disebut perintah atau ‘amar’. Sedangkan
tuntutan yang mengandung beban hukum untuk ditinggalkan disebut larangan atau
‘nahy’.
a.
Pengertian Amr dan Hani
1)
Pengertian Amr
Dalam
setiap kata amar mengandung tiga unsur, yaitu: pertama, yang mengucapkan kata
amar atau yang menyuruh. Kedua, yang dikenal kata amar atau yang disusun.
Ketiga, ucapan yang digunakan dalam suruhan itu.[12]
Lafaz Amar
secara bahasa الامر yang berarti perintah atau
suruhan. Amar adalah kebalikan dari Nahi yaitu yang berarti larangan. Sedangkan
secara istilah, para ulama banyak yang mendefinisikan Amar tersebut
diantaranya:
امر هو يطلب به الآعلى ممن هوأدنى منه فعلا غير كفٍ
“Amar adalah suatu lafaz yang dipergunakan oleh
orang yang lebih tinggi derajatnya kepada orang yang lebih rendah untuk meminta
bawahannya mengerjakan suatu pekerjaan yang
tidak boleh ditolak”.[13]
Berdasarkan
beberapa definisi amar tersebut dapat kita simpulkan adalah lafaz amar yaitu
suatu lafaz yang dipergunakan oleh orang yang lebih tinggi derajatnya kepada
orang yang lebih rendah untuk meminta bawahannya mengerjakan suatu pekerjaan
yang harus dikerjakannya.
Menurut mayoritas ulama ushul fiqih, amar adalah : suatu tuntutan
(perintah) untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya
kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya. Perintah untuk melakukan suatu
perbuatan, seperti dikemukakan oleh Khudari Bik dalam bukunya Tarikh al-Tasyri,
disampaikan dalam berbagai redaksi antara lain:
a)
Perintah tegas
dengan menggunakan kata amara (امر) dan
yang seakar dengannya. misalnya dalam ayat:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ
وَالإحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ
وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Terjemahnya:
“Sesungguhnya Allah
menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah larang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia
memberi ganjaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. (QS.
An-Nahl/16:90)
b)
Perintah dalam bentuk pemberitaan bahwa
perbuatan itu diwajibkan atas seseoarang dalam dengan memakai kata kutiba
(كتب/diwajibkan). Misalnya, dalam surat al-Baqarah ayat
178:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ
بِالْعَبْدِ وَالأنْثَى بِالأنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ
مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ
وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ
فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ
فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Terjemahnya:
“Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan
hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan
dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik,
dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf
dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari
Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu,
maka baginya siksa yang sangat pedih”. (QS. al-Baqarah/2:178)
c)
Perintah
dengan memakai redaksi pemberitaan (jumlah khabariyah), namun yang dimaksud
adalah perintah. Misalnya, ayat 228 surat al-Baqarah:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ
بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ وَلا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا
خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ
أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ
الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ
عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Terjemahnya:
“Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh
mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka
beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya
dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan
para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada
istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. al-Baqarah/2:228)
d)
Perintah dengan memakai kata kerja perintah secara langsung. Misalnya, ayat 238
surat al-Baqarah:
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ
وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
Terjemahnya:
Peliharalah
segala salat (mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah karena Allah
(dalam salatmu) dengan khusyuk. (QS. al-Baqarah/2:238).
e)
Perintah dalam bentuk menjanjikan kebaikan yang banyak atas pelakunya.
Misalnya, ayat 245 surat al-Baqarah:
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ
قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ
وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Terjemahnya:
Siapakah yang
mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di
jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan
lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan
kepada-Nya-lah kamu dikembalikan. (QS.
al-Baqarah/2:245)
2)
Pengertian Nahi
Nahi adalah suatu lafaz yang mengandung makna
tuntutan meninggalkan sesuatu perbuatan. Nahi yaitu larangan, meninggalkan
suatu perbuatan yang dilarang untuk melakukannya. Mayoritas
ulama ushul fiqih mendefinisikan nahi sebagai:
Larangan
melakukan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada
pihak yang lebih rendah tingkatannya dengan kalimat yang menunjukkan atas hal
itu.[14]
Dalam melarang suatu perbuatan, seperti disebutkan oleh
Muhammad Khudri Bik. Allah juga memakai berbagai ragam bahasa. Diantaranya
adalah:
1)
Larangan
secara tegas dengan memakai kata naha(نهي) atau yang seakar dengannya yang
secara bahasa berarti melarang. Misalnya surat an-Nahl ayat 90:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ
وَالإحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ
وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Terjemahnya:
"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan
berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu
agar kamu dapat mengambil pelajaran” .(QS an-Nahl/16:90).
Nabi
Saw bersabda yang artinya:
“Dari Abi Sa’id Al-Khudri r.a. ia berkata:”Saya telah
mendengar Rasulullah SAW. Bersabda “barang siapa diantara kalian melihat
kemungkaran hendaklah dia merubahnya dengan tangannya, jika dia tidak mampu,
maka dengan lidahnya, dan jika tidak sanggup, maka dengan hatinya. Namun, yang
demikian (merubah kemungkaran dengan hati) yaitu adalah selemah-lemahnya
iman.”(H.R. Muslim).
2)
Larangan dengan menjelaskan bahwa sesuatu
perbuatan itu diharamkan(حرم). Misalnya, ayat 33 surat al-A’raf:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ
الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ
الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ
مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا
وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ
Terjemahnya:
Katakanlah: "Tuhanku hanya
mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi,
dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar,
(mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan
hujah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak
kamu ketahui".(QS. al-A’raf/7:33).
b.
Hukum Amr dan Nahi
1)
Hukum Amr
Suatu
bentuk perintah, seperti dikemukakan oleh Muhammad Adib Saleh, Guru Besar Ushul
Fiqih Universitas Damaskus, bida digunakan untuk berbagai pengertian, yaitu
antara lain :
a)
Mennjukkan hukum wajib seperti perintah untuk
salat.
b)
Untuk menjelaskan bahwa sesuatu itu boleh
dilakukan, seperti ayat 51 Surah Al-Mukminun:
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ
الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
Terjemahnya:
”Hai
rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang
saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS.
Al-Mukminun/23: 51)
c)
Sebagai anjuran, seperti dalam ayat 282 surah
al-Baqarah:
Terjemahnya:
”
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”. (QS. Al-Baqarah/2: 282)
d)
Untuk melemahkan, misalnya ayat 23 Surah
al-Baqarah:
وَإِنْ
كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ
مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْصَادِقِينَ
Terjemahnya:
”Dan
jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Alquran yang kami wahyukan kepada
hamba kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Alquran itu dan
ajaklah penolong-penolonmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”.
(QS. Al-Baqarah/2: 23)
e)
Sebagai ejekan dan penghinaan, misalnya firman
Allah berkenaan dengan orang yang ditimpa siksa di akhirat nanti sebagai ejekan
atas diri mereka dalam surah al-Dukhan ayat 49:
Terjemahnya:
”Rasakanlah,
sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia”. (QS. Al-Dukhan/44: 49)
2)
Hukum Nahi
Seperti dikemukakan Adib Saleh, bahwa bentuk
larangan dalam penggunaannya menunjukkan berbagai pengertian, antara lain:
a)
Menunjukkan hukum haram, misalnya surat al-Baqarah ayat 221
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik,”
b)
Sebagai anjuran untuk meninggalkan, seperti al-Maidah :101
Terjemahnya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu)
hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu
menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu,
Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyantun.”
c)
Penghinaan, dalam surat
at-Tahrim ayat 7
Terjemahnya:
“Hai
orang-orang kafir, janganlah kamu mengemukakan uzur pada hari ini. Sesungguhnya
kamu Hanya diberi balasan menurut apa yang kamu kerjakan”.
Seperti dikemukakan Adib Saleh, bahwa bentuk larangan
dalam penggunaannya mungkin menunjukkan berbagai pengertian, antara lain:
1)
Untuk menunjukkan hukum haram misalnya ayat 221 surat
al-Baqarah:
وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ
حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ
أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ
حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ
مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ
يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ
وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ
وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Terjemahnya:
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang
musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu.
Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan
izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran”. (QS. al-Baqarah/2:221)
2)
Sebagai
anjuran untuk meninggalkan, misalnya ayat 101 surat al-Maidah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا
تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِنْ تَسْأَلُوا
عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْ
آنُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا اللَّهُ
عَنْهَا وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ
Terjemahnya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan
(kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan
kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Qur'an itu sedang diturunkan, niscaya
akan diterangkan kepadamu. Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”.(QS. al-Maidah/5:101)
3)
Penghinaan,
contohnya ayat 7 surat al-Tahrin.
4)
Untuk menyatakan permohonan, misalnya ayat 286 surat
al-Baqarah.
c.
Kedudukan Amr dan Nahi
1)
Kedudukan Amr
Apabila dalam
nash (teks) syara’ terdapat salah satu dari bentuk perintah tersebut, maka
seperti dikemukakan Muhammad Adib Saleh, ada beberapa kaidah yang mungkin bisa
diberlakukan.[15]
Kaidah pertama
meskipun dalam suatu perintah bisa menunjukan bebagai pengertian, namun pada
dasarnya suatuperintah menunjukan hukum wajib dilaksanakan kecuali ada indikasi
atau dalil yang memalingkannya dari hukum tersebut. Kesimpulan ini, di samping
didasarkan atas kesepakatan ahli bahasa, juga atas ayat 62 surat an-Nur yang
mengancam dan menyiksa orang-orang yang menyalahi perintah Allah. Adanya
ancaman siksaan itu menunjukan bahwa suatu perintah wajib dilaksanakan.
Contoh
perintah yang terbebas dari indikasi yang memalingkan dari hukum wajib adalah
ayat 77 surat an-Nisa:
... Dan
dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat...(QS.an-Nisa/3:77)
Ayat tersebut
menunjukkan hukum wajib mendirikan solat lima waktu dan menunaikan zakat.
Kaidah kedua
adalah suatu perintah haruskah dilakukan berulang kali atau cukup dilakukan
sekali saja?, menrt para ulama Ushul Fiqih, pada dasarnya suatu perintah tidak
menunjukkan berulang-kali dilakukan kecuali ada dalil untuk itu. Karena suatu
perintah hanya menunjukkan perlu terwujudnya perbuatan yang diperintahkan itu
dan hal itu sudah bisa tercapai meski pun hanya dilakukan satu kali. Contohnya
ayat 196 surat al-Baqarah:
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ
لِلَّه...
Terjemahnya:
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan `umrah
karena Allah. (QS. al-Baqarah”/2:196)
Menurut
sebagian ulama, antara lain Abu al-Hasan al-Karkhi. Seperti di nukil
Muhammad Adib Shalih, bahwa suatu perintah menunjukkan hukum wajib segera
dilakukan. Menurut pendapat ini barang siapa yang tidak segera melakukan di
awal waktunya maka ia berdosa.[16]
2) Kedudukan Nahi
Para ulama Ushul Fiqh
merumuskan beberapa kaidah yang berkenaan dengan larangan, antara lain:
Kaidah pertama, الأصل فى النهى للتحريم, pada dasarnya suatu larangan menunjukkan hukum haram
melakukan perbuatan yang dilarang kecuali ada indikasi yang menunjukkan hukum
lain. Contohnya ayat 151 surat al-An’am.
“dan janganlah kamu
membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu
(sebab) yang benar”
Contoh larangan yang disertai indikasi yang
menunjukkan hukum selain haram, dalam surat al-Jum’ah : 9
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk
menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli[1475]. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
Mengetahui.”
Kaidah kedua,الأصل فى النهى
يطلق الفساد مطلقا, suatu larangan
menunjukkan fasad (rusak) perbuatan yang dilarang itu jika dikerjakan. Kaidah
ini disepakati bilamana larangan itu tertuju kepada zat atau esensi suatu
perbuatan, bukan terhadap hal-hal yang terletak diluar esensi perbuatan itu.
Kaidah ketiga,النهي عن الشيئ
أمر بضده, suatu larangan terhadap
suatu perbuatan berarti perintah terhadap kebalikannya. Seperti dalam surat
Luqman : 18
“dan janganlah kamu berjalan di muka bumi
dengan angkuh”
Larangan tersebut mengajarkan agar berjalan di
permukaan bumi dengan rendah hati dan sopan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang di peroleh dari makalah ini, sebagai berikut:
1. Ada beberapa kaidah-kaidah ushuliyyah yaitu: ‘am dan khas – amr dan
nahi,adapun pengertian dari masing-masing kaidah, sebgai berikut:
a. Amm adalah
lafal yang menunjukkan pengertian umum yang mencakup satuan-satuan (afrad) yang
ada dalam lafal itu tanpa pembatasan jumlah tertentu
b. Adapun lafadz Khas
menurut bahasa ialah lafadz yang
menunjukkan arti yang tertentu, tidak meliputi arti umum, dengan kata lain,
khas itu kebalikan dari `âm.
c. Amar adalah suatu lafaz
yang dipergunakan oleh orang yang lebih tinggi derajatnya kepada orang yang
lebih rendah untuk meminta bawahannya mengerjakan suatu pekerjaan yang tidak boleh ditolak
d. Nahi adalah
suatu lafaz yang mengandung makna tuntutan meninggalkan sesuatu perbuatan. Nahi
yaitu larangan, meninggalkan suatu perbuatan yang dilarang untuk melakukannya.
2. Hukum-hukum
kaidah-kaidah ushuliyyah, sebagai berikut:
a. Para Ulama sepakat bahwa
lafazh ‘am yang disertai qarinah (indikasi)
yang menunjukkan penolakan adanya takhsis
adalah qat’i dilalah. Mereka pun
sepakat bahwa lafazh ‘am yang disertai qarinah yang menunjukkan bahwa yang
dimaksudnya itu khusus, mempunyai dilalah yang khusus pula. Yang menjadi perdebatan pendapat disini ialah
lafazh ‘am yang mutlaq tanpa disertai suatu qarinah yang menolak kemungkinan
adanya takhsis, atau tetap berlaku umum yang mencakup satuan-satuannya.
b. Hukum
lafaz khas secara garis besar adalah bahwasannya apabila ada nash syar’i, maka
ia menunjukkan dengan dalalah yang qath’i terhadap maknanya yang khusus yang
ditetapkannya untuknya secara hakekat. Sedangkan hukum bagi madlulnya (yang
ditunjukinya) tetap secara pasti, bukan dengan jalan zhann (dengan kuat).
c. Hukum amar yaitu, Mennjukkan
hukum wajib seperti perintah untuk salat, Untuk menjelaskan bahwa sesuatu itu
boleh dilakukan, sebagai anjuran dan Sebagai ejekan dan penghinaan.
d. Hukum
nahi yaitu, Menunjukkan hukum haram, Sebagai
anjuran untuk meninggalkan, Untuk
menyatakan permohonan dan penghinaan.
3. Kedudukan
kaidah-kaidah ushuliyyah, sebagai berikut:
a. Pada dasarnya pada
pemahaman dalalah lafal al-‘am, ulama ushul telah sepakat bahwa keumuman
lafal nash itu tetap saja dalam keumumannya jika tidak ada dalil yang dapat
dijadikan sebagai dasar pengkhususannya. Akan tetapi, kalangan jumhur
menegaskan sedapat mungkin keumuman lafal nash itu harus diupayakan mencari
takhsisnya, baik dengan akal, adat maupun dengan nash itu sendiri.
b.
Dengan demikian, dalalah lafadh tersebut adalah
qath’iy. Tetapi menurut Ulama Hanafiyah, dalam hadits tersebut terdapat qarinah
yang mengalihkan kepada arti yang lain. Yaitu bahwa fungsi zakat adalah untuk
menolong fakir miskin. Pertolongan itu dapat dilakukan bukan hanya dengan
memberikan seekor kambing, tetapi juga dapat dengan menyerahkan harga seekor
kambing yang dizakatkan.
c. Apabila dalam
nash (teks) syara’ terdapat salah satu dari bentuk perintah tersebut, maka
seperti dikemukakan Muhammad Adib Saleh, ada beberapa kaidah yang mungkin bisa
diberlakukan.
d. pada dasarnya suatu
larangan menunjukkan hukum haram melakukan perbuatan yang dilarang kecuali ada
indikasi yang menunjukkan hukum lain.
DAFTAR PUSTAKA
Effendi, Satria., 2005. Ushul Fiqih, Jakarta: Prenadamedia Group.
Khallaf, Abdul Wahab., 1994, Ilmu Ushul Fiqih, Semarang: Toha Putra
Minhajuddin., 2010. Ushul Fiqih II, Makassar: Alauddin Press.
Umam Khoirul , Achyar Aminudin., 2011 Ushul Fiqih II, Bandung: CV Pustaka Setia.
[1]Prof.
Satria Effendi, Usul Fiqih Edisi I, Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2005,
h. 176
[2]
Prof. Minhajuddin, Usul Fiqih II, Makassar: Alauddin Press, 2010, h. 3
[3]
Ibid.
[4]
Khoirul Umam, Achyar Aminudin, Ushul
Fiqih 11, Bandung: CV Pustaka Setia,2001, h. 61
[5]
Ibid, h. 205
[6]
Ibid, h. 6
[7]
Prof. Abdul Wahhab Khallaf, Usul Fiqih, diterjemahkan oleh Drs. Moh. Zuhri dan
Drs. Ahmad Qarib, Ilmu Ushul Fiqih, Semarang: Toha Putra, 1994, h. 299
[8]
Ibid, h. 301
[9]
Ibid.
[10]Minjahuddin,
op cit., h. 8
[11]
Ibid, h. 20
[12]Minhajuddin,
op cit., h. 23
[13]
Ibid.
[14]
Satria Effendi, op cit., h. 176
[15]
Minhajuddin, op cit., h. 44
[16]
Abdul wahab khallaf, op cit., h. 308