Selasa, 03 Mei 2016

Makalah Ilmu Fiqih Berjudul "Ijtihad"



MAKALAH ILMU FIQIH
“IJTIHAD”


OLEH :
KELOMPOK V
Ø  ZAENAL ABIDIN/20700115028
Ø  RAHMADANI/20700115031
Ø  ACO/20700115032
Ø  ZUL FAJRIN/207001150

PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS  TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN MAKASSAR
2016
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Ilmu Fikih tentang “Ijtihad” ini. Makalah ini merupakan laporan yang dibuat sebagai bagian dalam memenuhi kriteria mata kuliah. Salam dan salawat kami kirimkan kepada junjungan kita tercinta Rasulullah Muhammad SAW, keluarga, para sahabatnya serta seluruh kaum muslimin yang tetap teguh dalam ajaran beliau.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih ada kekurangan disebabkan kedangkalan dalam memahami teori ,keterbatasan keahlian , dana, dan tenaga penulis. Semoga segala bantuan , dorongan, dan petunjuk serta bimbingan yang telah diberikan kepada kami dapat bermanfaat dan bernilai ibadah di sisi Allah SWT Subhana wa Taalah. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khusus bagi penulis sendiri.

Penulis

Kelompok V






i

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR         …………………………………………………… i
DAFTAR ISI                         …………………………………………………… ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang        …………………………………………………... 1
B.     Rumusan Masalah   …………………………………………………... 2
C.     Tujuan                     …………………………………………………... 2
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ijtihad      ………………………………………………… 3
B.     Hukum Ijtihad           ………………………………………………… 5
C.     Kedudukan Ijtihad                ………………………………………………… 8
D.    Obyek Ijtihad             ………………………………………………… 10


BAB III PENUTUP
A.    KESIMPULAN         ……………………………………………….. 12
DAFTAR PUSTAKA







ii

BAB I
PENDAHULUAN


A.     LATAR BELAKANG
                   Hukum Islam adalah system hukum yang bersumber dari wahyu agama sehingga istilah hukum islam hukum islam mencerminkan konsep yang jauh berbeda jikadibandingkan dengan konsep, sifat dan fungsi hukum biasa. Seperti lazim diartikan agama adalah suasana spiritual dari kemanusiaan yang lebih tinggi dan tidak bisa disamakan dengan hukum. Sebab hukum  dalam pengertian biasa hanya menyangkut soal keduniaan semata. Sedangkan Joseph Schacht mengartikan hukum Islam sebagai totalitas perintah Allah yang mengatur kehidupan umat  islam dalam keseluruhan aspek menyangkut penyembahan dan ritual, politik dan hukum.
Pada umumnya sumber hukum islam ada dua, yaitu: Al-Quran dan Hadist, namun ada juga yang disebut Ijtihad sebagai sember hukum yang ketiga berfungsi untuk menetapkan suatu hukum yang tidak secara jelas di tetapkan dalam Al-Quran maupun Hadist. Namun demikian, tidak boleh bertentangan dengan isi kandungan Al-Quran dan Hadist. Berijtihad adalah berusaha sungguh-sungguh dengan mempergunakan seluruh kemampuan akal pikiran, pengetahuan dan pengalaman manusia yang memenuhi syarat untuk mengkaji dan memahami wahyu dan sunnah serta mengalirkan ajaran, termasuk ajaran mengenai hukum (fikih) Islam dari keduanya.
Dengan demikian, Ijtihad dilakukan dengan berbagai metode yang diterapkan beserta syarat-syarat yang telah ditentukan untuk mengenali hukum Islam untuk kemudian diimplemasikan dalam kehidupan masyarakat.






B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian ijtihad ?
2.      Bagaimana hukum ijtihad ?
3.      Bagaimanakah kedudukan ijtihad dalam islam ?
4.      Apa sajakah hal-hal yang menjadi obyek ijtihad ?

C.    TUJUAN
1.      Untuk mengetahui pengertian ijtihad
2.      Untuk mengetahui bagaimana hukum ijtihad
3.      Untuk mengetahui kedudukan ijtihad dalam islam
4.      Untuk mengetahui hal-hal yang menjadi obyek ijtihad




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ijtihad
Dari segi bahasa “ijtihad” berasal dari kata jahada () yang berarti mencurahkan segala kesempurnaan atau menanggung beban kesulitan. Kata “ijtihad” dipakai mengikuti wazan Ifti’al (                  ) yang berarti “bersangatan dalam pekerjaan” (                                                ). Oleh sebab itu, kata “ijtihad” berarti mencurahkan segala kemampuan dalam segala perbuatan.[1] Dengan demikian, kata “jihad” (           ) dan “ijtihad” (               ) berasal dari kata yang sama. Hanya saja, kata “ijtihad” bergerak dalam lapangan pemikiran dan penelitian, sedangkan kata “jihad” bergerak dalam ruang lingkup perbuatan dan tingkah laku dalam skala yang lebih luas.
Ulama ushuliyyin mengartikan ijtihad dengan usaha mencurahkan segenap kemampuan dan kesanggupan intelektual dalam mengistibathkan hukum praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.[2] Atau, seperti yang dirumuskan oleh Abd Al-Wahab Al-Khallaf, yaitu mencurahkan kesanggupan yang prima untuk menghasilkan hukum syar’i yang amali dan berpedoman dari dalil yang terperinci (tafshili).[3]
Pada prinsipnya, ijtihad adalah menifestasi pemikiran kefilsafatan. Oleh sebab itu, ijtihad merupakan kerja akal yang memperoleh bimbingan syara’ sehingga hasil ijtihad itu merupakan bagian dari hasil kerja akal manusia
Menurut para ahli, akal adalah asasnya ijtihad,terutama bidang-bidang yang tidak ada nashnya. Namun itu tidak berarti bahwa akal bisa bekerja atas dasar kemauan dan cara-cara sendiri tanpa melalui metodologi tertentu. Proses kerja ijtihad menggunakan pemikiran dengan metodologi yang benar di bawah bimbingan syara’dan mnghindarkan diri dari bisikan-bisikan hawa nafsu.[4]
Oleh sebab itu, seorang  mujtahid (orang yang melakukan ijtihat) dituntut untuk memiliki objektivitas yang tinggi dan menguasai ilmu-ilmu alat seperti pengetahunan bahasa Arab, ilmu Alquran, ilmu hadis, pengetahuan tentang ijma, qiyas, dan lain sebagainya.[5] Ringkasnya, seorang mujtahid harus mengetahui dalil-dalil yang tergolong kedalam dalil ijtihadi (dalil yang bukan nash,tetapi berasal dari akal yang hubungannya tidak terlepas dari nash), yaitu ijma, qiyas, istihsan, maslahat mursalah, ‘urf, syar’u man qablana sadduzzarai, dan mazhab sahabat. Dengan kata lain, dalil-dalil inilah yang diperlukan dalam berijtihad di samping Alquran dan Hadis sebagai rujukan utama. Pemanfaatan akal untuk menyelesaikan persoalan keagamaan, baik yang bersifat keduniaan atau keakhiratan,biasa disebut “berijtihad”. Namun karena persoalan yang bersifat ibadah pada umumnya telah diatur secara terperinci dan jelas oleh Alquran dan Hadis, maka lapangan ini hampir tidak ada campur tangan manusia di dalamnya. Sedangkan dalam lapangan mu’amalat, ijtihad tersebut sebagai disebut di atas telah dilakukan oleh para ulama baik di masa  Rasul atau masa-masa sesudahnya.[6]




B.     Hukum Ijtihad
Sebagai fuqaha berpendapat, bahwa berijtihad itu hukumnya wajib dan di antara alasan yang dikemukakan ialah:
1.      Al- Quran
Sebagaimana firman Allah SWT  dalam surah al-Hasyr : 2, sebagai berikut:


“Maka ambilla ibarat, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan.[7]
Berdasarkan ayat ini, maka bagi orang-orang yang ahli memahami dan merenungkan sesuatu, diperintahkan untuk mengambil ibarat, dan hal ini berarti mengharuskan mereka untuk berijtihad.

2.      Sunnah
Hadits Mu’adz bin Jabal yang telah dikemukakan di atas, dapat juga dijadikan dalil wajib bagi Ijtihad, karena secara langsung atau tidak, Nabi Muhammad telah merestui apa yang telah dipikirkan oleh Mu’adz tersebut.
Nabi juga bersabda:


“ Apabila seorang hakim memutuskan perkara dengan berijtihad dan ternyata benar ijtihadnya, maka ia mendapat dua pahala. Jika menetapkan hukum itu tidak benar ijtihadnya, maka ia mendapat satu pahala.” (HR. Bukhari dan Muslim)[8]

3.      Pendapat Sahabat
Abu Bakar ash-Shiddiq berkata:



“Saya bicara tentang pusaka orang mati, yang tidak meninggalkan ayah dan anak, menurut pendapatku:Jika pendapat itu benar, maka ia dari Allah, dan jika ia salah, maka ia daripadaku dan daripada setan, Allah dan Rasul-Nya terlepas dari pendapat itu.”
Umar bin Khattab berkata:


“Sesungguhnya Umar tidak mengetahui, apakah dia menemui sasaran yang benar. Akan tetapi dia sudah bersungguh-sungguh benar mencari kebenaran itu.”

4.      Pendapat Para Imam Mujtahid
Iman Abu Hanifah dan Abu Yusuf berkata:
“Tiada halal bagi seorang berkata dengan perkataan kami sehingga ia mengetahui dari mana kami ambil perkataan kami itu.”

Imam Malik Berkata:


“Aku ini hanya seorang manusia mungkin salah dan mungkin benar, oleh sebab itu periksalah pendapatku itu. Semua yang sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah ambillah ia dan segala yang tidak sesuai tinggalkanlah.”[9]

Imam Syafi’I berkata:



    “Apa yang telah aku katakan, padahal Nabi telah berkata berlainan dengan perkataan itu, maka apa yang shahih diterima dari Nabi itulah yang lebih patut kamu turuti dan jangan kamu bertaklid kepadaku.”

Imam Ahmad berkata:


“Jangan kamu bertaklid kepadaku, jangan pula kepada Malik, Syafi’I dan ats-Tsaury, dan ambillah hukum itu dari tempat mereka mengambil.”[10]
           
            Dalil-dalil tersebut diatas menegaskan, bahwa taklid buta itu tidak dapat dibenarkan dalam syariat Islam dan ijtihad itu wajib atas setiap orang yang mampu melaksanakannya. Penjelasan diatas juga menunjukkan, bahwa para mujtahid itu mungkin salah dalam menetapkan hukum. Bila ternyata salah, harus mampu meralat kesalahanya itu dan mengikuti pendapat yang benar.
            Berkenaan dengan hal ini kita renungkan dan pertimbangkan kata-kata Umar bin Khattab kepada Abu Musa al-Asy’ary:



“Jangan hendaknya engkau dihalangi oleh suatu putusan yang telah engkau tetapkan pada hari ini, lalu setelah engkau meninjau kembali, engkau mendapat petunjuk yang lainatau memperoleh kebenaran untuk mencabut putusan itu, maka kembalilah kepada kebenaran, karena sesungguhnya kebenaran itu adalah suatu barang yang qadim yang tidak dapat dibatalkan oleh sesuatu. Kembali kepada kebenaran lebih baik daripada bergelimang dalam kebatilan.”[11]

C.     Kedudukan Ijtihad
Ijtihad telah dapat dibuktikan keampuannya dalam menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi oleh umat Islam, sejak masa awal Islam sampai pada  masa keemasannya. Melalui ijtihad masalah-masalah yang baru dan tidak terdapat dalam Alquran dan Hadits dapat dipecahkan oleh para mujtahid. Melalui ijtihad pula ajaran Islam telah berkembang dengan pesat menuju kesempurnaanya. Sebalikanya, ketika ijtihad telah sirna dari kalangan umat islam, mereka mengalami kemunduran. Karena itu, benarlah Iqbal ketika ia menyatakan bahwa ijtihad merupakan “the principle of movement” daya gerakkemajuan umat Islam. Dengan kata lain, ijtihad merupakan kunci dinamika ajaran Islam,termasuk bidan hukumnya.[12]
Istilah ijtihad tidak dapat dipisahkan dari ra’yu. Istilah yang disebut terakhir ini dapat diartikan sebagai upaya pencaharian dan perenungan terhadap masalah-masalah tertentu berdasarkan pada Alquran dan Hadis atau prinsip-prinsip umum syariat Islam. Merenung dan memikir adalah pekerjaan akal. Karena itu, istilah ra’yu tidak dapat dipisahkan dari kata ‘aql. Alquran sangat menganjurkan kepada umat Islam untuk menggunakan akalnya. Dalam kaitannya dengan ijtihad di bidang fiqih, Al-Ghazali menyatakan bahwa akal manusia hanya dapat menetapkan hukum mengenai kasus yang secara eksplisit tidak terdapat dalam wahyu. Pendapat ini mewakili pendapat sunni pada umumnya. Bagi kelompok ini, wahyu mempunyai kedudukan yang sangat menentukan dalam menetapkan hukum.
Menarik pula untuk dikemukakan pernyataan Al-Syaukani mengenai otoritas mujtahid dalam menetapkan hukum. Apakah ia mendapat pelimpahan wewenan dari Allah, sebagaimana yang dilimpakan kepada Nabi? Bagi Al-Syaukani, mujtahid yang telah ditetapkan, berarti ia telah mendapatkan semacam “delegation of authority” dari Allah. Segera ditambahkannya, bahwa otoritas itu hanya diberikan pada mujtahid yang berjihad tidak berdasarkan kehendak hawa nafsunya, melainkan merujuk kepada Alquran dan Hadits. Pernyataan ahli ushul fiqih ini mengisyaratkan beberapa pentingnya kedudukan mujtahid dalam memahami wahyu yang berhubungan dengan kasus yang sedang diselesaikan.
Para ahli ushul fiqih berpendapat bahwa peranan wahyu dalam menetapkan hukum sangat besar. Karena itu mereka menjadikan Alquran dan hadits sebagai sumber utama hukum dalam Islam. Alquran hakikatnya adalah wahyu Allah yang tertulis, sedangkan hadits merupakan penjelasan dari rasul terhadap wahyu Allah itu. Akal, dipihak lain hanya digunakan sebagai alat untuk memahami apa yang dimaksud oleh wahyu Allah itu. Dengan demikian, hukum dalam Islam dapat digolongkan sebagai “divine law”, hukum yang bersumber pada wahyu Tuhan.[13]
Sebenarnya,kelompok yang berpendapat bahwa ijtihad merupakan sumber hukum sekalipun, pada dasarnya mengakui Alquran Hadis sebagai sumber utama ajara Islam. Dasar berpikir utama bagi mujtahid adalah Alquran dan Hadits. Karena itu, dapat dikatakan bahwa ijtihad hanyalah metode untuk memahami kedua sumber utama tersebut. Hal ini dapat dikuatkan dengan menelusuri pemggunaan kata ra’yudalam sejarah fiqih. Kata yang terakhir disebut digunakan oleh generasi awal Islam,dalam hal ini para sahabat Nabi, sebagai metode untuk memahami Alquran dan Hadits. Para ahli fiqih pasca shahabat pun menjadikan ra’yu sebagai metode memahami kedua sumber utama tersebut.[14]

D.     Obyek Ijtihad
Menurut Al-Ghazali, objek ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak memiliki dalil yang qathi. Dari pendapatnya itu, diketahui ada permasalahan yang tidak bisa dijadikan objek ijtihad.Dengan demikian, syariat Islam dalam kaitannya dengan ijtihad terbagi dalam dua bagian:
1.      Syariat yang tidak boleh dijadikan ijtihad, yaitu hukum-hukum yang telah dimaklumi sebagai landasan pokok Islam, yang berdasarkan pada dalil-dalil yang qathi’, seperti kewajiban melaksanakan shalat, zakat, puasa, ibadah haji atau haramnya melakukan zina, mencuri dan lain-lain. Semua itu telah ditetapkan hukumnya di dalam Al-Qur’an dan as sunnah.
2.      Syariat yang bisa dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum yang didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat zhanni, baik maksudnya, petunjuknya, ataupun eksistensinya (subut), serta hukum-hukum yang belum ada nash-nya dan ijma para ulama.
Apabila  ada nash yang berkeadaannya masih zhanni, hadis ahad misalnya, maka yang menjadi lapangan ijtihad diantaranya adalah meneliiti bagaimana sanadnya, derajat para perawinya, dan lain-lain. Dan nash yang petunjuknya masih zhanni, maka yang menjadi lapangan ijtihad, antara lain bagaimana maksud dari nash tersebut, misalnya dengan memakai kaidah ‘am, khas, mutlaq muqayyad, dan lain-lain. Sedangkan terhadap permasalahan yang tidak ada nash-nya, maka yang menjadi lapangan ijtihad adalah dengan cara menggunakan kaidah-kaidah yang bersumber dari akal, seperti qiyas, istihsan, mashalah murshalah, dan lain-lain. Namun permasalahan ini banyak diperdebatkan dikalangan para ulama. (ilmu ushul fiqh : 106)[15]













BAB V
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Ijtihad adalahsebuah usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan berbagai metode yang diterapkan beserta syarat-syarat yang telah ditentukan untuk menggali dan mengetahui hukum Islam untuk kemudian diimplemasikan dalam kehidupan masyarakat.
2.      Sebagai fuqaha berpendapat, bahwa berijtihad itu hukumnya wajib dan di antara alasan yang dikemukakan dalam: Al- Quran, sunnah, pendapat sahabat, pendapat para Iman mujtahid.
3.      Ijtihad telah dapat dibuktikan keampuannya dalam menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi oleh umat Islam, sejak masa awal Islam sampai pada  masa keemasannya. Melalui ijtihad masalah-masalah yang baru dan tidak terdapat dalam Alquran dan Hadits dapat dipecahkan oleh para mujtahid
4.      Objek ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak memiliki dalil yang qoth’i. Syariat yang tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad yaitu, hukum-hukum yang telah dimaklumi sebagai landasan pokok Islam, yang berdasarkan pada dalil-dalil qoth’i, seperti kewajiban melaksanakan rukun Islam, atau haramnya berzina, mencuri dan lain-lain.Syariat yang bisa dijadikan lapangan ijtihad yaitu hukum yang didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat zhanni, serta hukum-hukum yang belum ada nash-nya dan ijma’ para ulama.




DAFTAR PUSTAKA

Hasan, M. Ali. 1995. Perbandingan Mazhab.Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Jamil, Fathurrahman Haji. 1995. Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah.
Jakarta: Logos Publishing House.
Koto, Alaiddin Haji. 2011. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers.
Ma’shum, Saefullah. 1994. Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Qardlawy, M. Yusuf al-. 1987. al-Ijtihadfi al-Syari’at al-Islamiyat Ma’a Nazharat
Tahliyat fi al-Ijtihad Ma’ashir, Dar al-Qalam , Kuwait
Syathori, Achmad Haji. 1998. Ijtihad dalam Syariat Islam.Jakarta: PT Bulan Bintang
Zahrah, Muhammad Abu. 1985. Ushul al-Fiqh, Darul Fikri al-Araby, Mesir.





[1] M. Yusuf al-Qardlawy, al-Ijtihadfi al-Syari’at al-Islamiyat Ma’a Nazharat Tahliyat fi al-Ijtihad Ma’ashir, (Kuwait: Dar al-Qalam,1987) diterjemahkan oleh Drs. H. Achmad Syathory, Ijtihad dalam Syariat Islam, (Jakarta : PT Bulan Bintang, 1987) h.1
[2] Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Araby,1985) diterjemahkan oleh Ma'shum, Saefullah. Ushul Fiqih, ( Jakarta: Pustaka Firdaus 1994) h.379
[3] H. Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh Ushul Fiqh, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011) h.127
[4] H. Alaiddin Koto, loc.cit
[5] Ma'shum, Saefullah. Ushul Fiqih, loc.cit. h.379
[6] H. Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh, op.cit. h.127
[7] Departemen Agama,  Al-Quran dan Terjemahannya, (Surabaya: Halim) h.769
[8] M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1995) h.42
[9] M. Ali Hasan, loc.it. h. 43
[10] M. Ali Hasan, op.it. h.44
[11] M. Ali Hasan, op.cit. h.45
[12] Iqbal, Reconstruction of Religious Thought in Islam, (India: Kitab Bavan, 1981) lihat juga H. Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah,(Jakarta: Logos Publishing House,1995) h.19
[13] H. Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos Publishing House) h.20
[14] H. Fatthurrahman Djamil. loc.cit. h.28

[15]http://inidunia.com/2015/06/04/tingkatan-mujtahid-dan-objek-ijtihad/


Tidak ada komentar:
Write komentar

About Me