MAKALAH
ILMU FIQIH
“IJTIHAD”
OLEH
:
KELOMPOK
V
Ø ZAENAL
ABIDIN/20700115028
Ø RAHMADANI/20700115031
Ø ACO/20700115032
Ø ZUL
FAJRIN/207001150
PENDIDIKAN
MATEMATIKA
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI (UIN) ALAUDDIN MAKASSAR
2016
KATA
PENGANTAR
Puji
dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Ilmu Fikih tentang “Ijtihad” ini.
Makalah ini merupakan laporan yang dibuat sebagai bagian dalam memenuhi
kriteria mata kuliah. Salam dan salawat kami kirimkan kepada junjungan kita
tercinta Rasulullah Muhammad SAW, keluarga, para sahabatnya serta seluruh kaum
muslimin yang tetap teguh dalam ajaran beliau.
Kami
menyadari bahwa makalah ini masih ada kekurangan disebabkan kedangkalan dalam
memahami teori ,keterbatasan keahlian , dana, dan tenaga penulis. Semoga segala
bantuan , dorongan, dan petunjuk serta bimbingan yang telah diberikan kepada
kami dapat bermanfaat dan bernilai ibadah di sisi Allah SWT Subhana wa Taalah.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khusus bagi
penulis sendiri.
Penulis
Kelompok V
i
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR …………………………………………………… i
DAFTAR ISI …………………………………………………… ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang …………………………………………………...
1
B.
Rumusan Masalah …………………………………………………... 2
C. Tujuan …………………………………………………...
2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian
Ijtihad …………………………………………………
3
B. Hukum
Ijtihad …………………………………………………
5
C. Kedudukan
Ijtihad …………………………………………………
8
D. Obyek
Ijtihad …………………………………………………
10
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN ……………………………………………….. 12
DAFTAR
PUSTAKA
ii
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Hukum Islam adalah system hukum yang bersumber
dari wahyu agama sehingga istilah hukum islam hukum islam mencerminkan konsep
yang jauh berbeda jikadibandingkan dengan konsep, sifat dan fungsi hukum biasa.
Seperti lazim diartikan agama adalah suasana spiritual dari kemanusiaan yang
lebih tinggi dan tidak bisa disamakan dengan hukum. Sebab hukum dalam pengertian biasa hanya menyangkut soal
keduniaan semata. Sedangkan Joseph Schacht mengartikan hukum Islam sebagai
totalitas perintah Allah yang mengatur kehidupan umat islam dalam keseluruhan aspek menyangkut
penyembahan dan ritual, politik dan hukum.
Pada
umumnya sumber hukum islam ada dua, yaitu: Al-Quran dan Hadist, namun ada juga
yang disebut Ijtihad sebagai sember hukum yang ketiga berfungsi untuk menetapkan
suatu hukum yang tidak secara jelas di tetapkan dalam Al-Quran maupun Hadist.
Namun demikian, tidak boleh bertentangan dengan isi kandungan Al-Quran dan
Hadist. Berijtihad adalah berusaha sungguh-sungguh dengan mempergunakan seluruh
kemampuan akal pikiran, pengetahuan dan pengalaman manusia yang memenuhi syarat
untuk mengkaji dan memahami wahyu dan sunnah serta mengalirkan ajaran, termasuk
ajaran mengenai hukum (fikih) Islam dari keduanya.
Dengan
demikian, Ijtihad dilakukan dengan berbagai metode yang diterapkan beserta
syarat-syarat yang telah ditentukan untuk mengenali hukum Islam untuk kemudian
diimplemasikan dalam kehidupan masyarakat.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1. Apa
pengertian ijtihad ?
2. Bagaimana
hukum ijtihad ?
3. Bagaimanakah
kedudukan ijtihad dalam islam ?
4. Apa
sajakah hal-hal yang menjadi obyek ijtihad ?
C.
TUJUAN
1. Untuk
mengetahui pengertian ijtihad
2. Untuk
mengetahui bagaimana hukum ijtihad
3. Untuk
mengetahui kedudukan ijtihad dalam islam
4. Untuk
mengetahui hal-hal yang menjadi obyek ijtihad
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Ijtihad
Dari segi bahasa “ijtihad” berasal dari
kata jahada () yang
berarti mencurahkan segala kesempurnaan atau menanggung beban kesulitan. Kata
“ijtihad” dipakai mengikuti wazan Ifti’al ( ) yang berarti “bersangatan
dalam pekerjaan” (
). Oleh sebab itu, kata “ijtihad” berarti mencurahkan segala kemampuan
dalam segala perbuatan.[1]
Dengan demikian, kata “jihad” (
) dan “ijtihad” ( )
berasal dari kata yang sama. Hanya saja, kata “ijtihad” bergerak dalam lapangan
pemikiran dan penelitian, sedangkan kata “jihad” bergerak dalam ruang lingkup
perbuatan dan tingkah laku dalam skala yang lebih luas.
Ulama
ushuliyyin mengartikan ijtihad dengan usaha mencurahkan segenap kemampuan dan
kesanggupan intelektual dalam mengistibathkan hukum praktis yang diambil dari
dalil-dalil yang terperinci.[2]
Atau, seperti yang dirumuskan oleh Abd Al-Wahab Al-Khallaf, yaitu mencurahkan
kesanggupan yang prima untuk menghasilkan hukum syar’i yang amali dan
berpedoman dari dalil yang terperinci (tafshili).[3]
Pada
prinsipnya, ijtihad adalah menifestasi pemikiran kefilsafatan. Oleh sebab itu,
ijtihad merupakan kerja akal yang memperoleh bimbingan syara’ sehingga hasil
ijtihad itu merupakan bagian dari hasil kerja akal manusia
Menurut
para ahli, akal adalah asasnya ijtihad,terutama bidang-bidang yang tidak ada nashnya. Namun itu tidak berarti bahwa
akal bisa bekerja atas dasar kemauan dan cara-cara sendiri tanpa melalui
metodologi tertentu. Proses kerja ijtihad menggunakan pemikiran dengan
metodologi yang benar di bawah bimbingan syara’dan mnghindarkan diri dari
bisikan-bisikan hawa nafsu.[4]
Oleh
sebab itu, seorang mujtahid (orang yang
melakukan ijtihat) dituntut untuk memiliki objektivitas yang tinggi dan
menguasai ilmu-ilmu alat seperti pengetahunan bahasa Arab, ilmu Alquran, ilmu
hadis, pengetahuan tentang ijma, qiyas, dan lain sebagainya.[5]
Ringkasnya, seorang mujtahid harus mengetahui dalil-dalil yang tergolong
kedalam dalil ijtihadi (dalil yang
bukan nash,tetapi berasal dari akal
yang hubungannya tidak terlepas dari nash),
yaitu ijma, qiyas, istihsan, maslahat mursalah, ‘urf, syar’u man
qablana sadduzzarai, dan mazhab sahabat. Dengan kata lain, dalil-dalil
inilah yang diperlukan dalam berijtihad di samping Alquran dan Hadis sebagai
rujukan utama. Pemanfaatan akal untuk menyelesaikan persoalan keagamaan, baik
yang bersifat keduniaan atau keakhiratan,biasa disebut “berijtihad”. Namun
karena persoalan yang bersifat ibadah pada umumnya telah diatur secara
terperinci dan jelas oleh Alquran dan Hadis, maka lapangan ini hampir tidak ada
campur tangan manusia di dalamnya. Sedangkan dalam lapangan mu’amalat, ijtihad
tersebut sebagai disebut di atas telah dilakukan oleh para ulama baik di
masa Rasul atau masa-masa sesudahnya.[6]
B.
Hukum Ijtihad
Sebagai
fuqaha berpendapat, bahwa berijtihad itu hukumnya wajib dan di antara alasan
yang dikemukakan ialah:
1. Al- Quran
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surah al-Hasyr : 2, sebagai berikut:
“Maka ambilla ibarat, wahai orang-orang yang mempunyai
pandangan.[7]
Berdasarkan ayat ini, maka bagi
orang-orang yang ahli memahami dan merenungkan sesuatu, diperintahkan untuk
mengambil ibarat, dan hal ini berarti mengharuskan mereka untuk berijtihad.
2. Sunnah
Hadits Mu’adz bin Jabal yang telah
dikemukakan di atas, dapat juga dijadikan dalil wajib bagi Ijtihad, karena
secara langsung atau tidak, Nabi Muhammad telah merestui apa yang telah
dipikirkan oleh Mu’adz tersebut.
Nabi juga bersabda:
“ Apabila seorang hakim memutuskan
perkara dengan berijtihad dan ternyata benar ijtihadnya, maka ia mendapat dua
pahala. Jika menetapkan hukum itu tidak benar ijtihadnya, maka ia mendapat satu
pahala.” (HR. Bukhari dan Muslim)[8]
3. Pendapat Sahabat
Abu Bakar ash-Shiddiq berkata:
“Saya bicara tentang pusaka orang
mati, yang tidak meninggalkan ayah dan anak, menurut pendapatku:Jika pendapat
itu benar, maka ia dari Allah, dan jika ia salah, maka ia daripadaku dan
daripada setan, Allah dan Rasul-Nya terlepas dari pendapat itu.”
Umar bin Khattab berkata:
“Sesungguhnya Umar tidak mengetahui,
apakah dia menemui sasaran yang benar. Akan tetapi dia sudah bersungguh-sungguh
benar mencari kebenaran itu.”
4. Pendapat Para Imam Mujtahid
Iman Abu Hanifah dan Abu Yusuf
berkata:
“Tiada halal bagi seorang berkata
dengan perkataan kami sehingga ia mengetahui dari mana kami ambil perkataan
kami itu.”
Imam Malik Berkata:
“Aku ini hanya seorang manusia
mungkin salah dan mungkin benar, oleh sebab itu periksalah pendapatku itu.
Semua yang sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah ambillah ia dan segala yang
tidak sesuai tinggalkanlah.”[9]
Imam Syafi’I berkata:
“Apa yang telah aku katakan, padahal Nabi
telah berkata berlainan dengan perkataan itu, maka apa yang shahih diterima
dari Nabi itulah yang lebih patut kamu turuti dan jangan kamu bertaklid
kepadaku.”
Imam Ahmad berkata:
“Jangan kamu bertaklid kepadaku,
jangan pula kepada Malik, Syafi’I dan ats-Tsaury, dan ambillah hukum itu dari
tempat mereka mengambil.”[10]
Dalil-dalil
tersebut diatas menegaskan, bahwa taklid buta itu tidak dapat dibenarkan dalam
syariat Islam dan ijtihad itu wajib atas setiap orang yang mampu
melaksanakannya. Penjelasan diatas juga menunjukkan, bahwa para mujtahid itu
mungkin salah dalam menetapkan hukum. Bila ternyata salah, harus mampu meralat
kesalahanya itu dan mengikuti pendapat yang benar.
Berkenaan
dengan hal ini kita renungkan dan pertimbangkan kata-kata Umar bin Khattab
kepada Abu Musa al-Asy’ary:
“Jangan hendaknya engkau dihalangi
oleh suatu putusan yang telah engkau tetapkan pada hari ini, lalu setelah
engkau meninjau kembali, engkau mendapat petunjuk yang lainatau memperoleh
kebenaran untuk mencabut putusan itu, maka kembalilah kepada kebenaran, karena
sesungguhnya kebenaran itu adalah suatu barang yang qadim yang tidak dapat
dibatalkan oleh sesuatu. Kembali kepada kebenaran lebih baik daripada
bergelimang dalam kebatilan.”[11]
C.
Kedudukan Ijtihad
Ijtihad
telah dapat dibuktikan keampuannya dalam menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi
oleh umat Islam, sejak masa awal Islam sampai pada masa keemasannya. Melalui ijtihad
masalah-masalah yang baru dan tidak terdapat dalam Alquran dan Hadits dapat
dipecahkan oleh para mujtahid. Melalui ijtihad pula ajaran Islam telah
berkembang dengan pesat menuju kesempurnaanya. Sebalikanya, ketika ijtihad
telah sirna dari kalangan umat islam, mereka mengalami kemunduran. Karena itu,
benarlah Iqbal ketika ia menyatakan bahwa ijtihad merupakan “the principle of movement” daya
gerakkemajuan umat Islam. Dengan kata lain, ijtihad merupakan kunci dinamika
ajaran Islam,termasuk bidan hukumnya.[12]
Istilah
ijtihad tidak dapat dipisahkan dari ra’yu.
Istilah yang disebut terakhir ini dapat diartikan sebagai upaya pencaharian dan
perenungan terhadap masalah-masalah tertentu berdasarkan pada Alquran dan Hadis
atau prinsip-prinsip umum syariat Islam. Merenung dan memikir adalah pekerjaan
akal. Karena itu, istilah ra’yu tidak
dapat dipisahkan dari kata ‘aql. Alquran
sangat menganjurkan kepada umat Islam untuk menggunakan akalnya. Dalam
kaitannya dengan ijtihad di bidang fiqih, Al-Ghazali menyatakan bahwa akal
manusia hanya dapat menetapkan hukum mengenai kasus yang secara eksplisit tidak
terdapat dalam wahyu. Pendapat ini mewakili pendapat sunni pada umumnya. Bagi
kelompok ini, wahyu mempunyai kedudukan yang sangat menentukan dalam menetapkan
hukum.
Menarik
pula untuk dikemukakan pernyataan Al-Syaukani mengenai otoritas mujtahid dalam
menetapkan hukum. Apakah ia mendapat pelimpahan wewenan dari Allah, sebagaimana
yang dilimpakan kepada Nabi? Bagi Al-Syaukani, mujtahid yang telah ditetapkan,
berarti ia telah mendapatkan semacam “delegation
of authority” dari Allah. Segera ditambahkannya, bahwa otoritas itu hanya
diberikan pada mujtahid yang berjihad tidak berdasarkan kehendak hawa nafsunya,
melainkan merujuk kepada Alquran dan Hadits. Pernyataan ahli ushul fiqih ini
mengisyaratkan beberapa pentingnya kedudukan mujtahid dalam memahami wahyu yang
berhubungan dengan kasus yang sedang diselesaikan.
Para
ahli ushul fiqih berpendapat bahwa peranan wahyu dalam menetapkan hukum sangat
besar. Karena itu mereka menjadikan Alquran dan hadits sebagai sumber utama
hukum dalam Islam. Alquran hakikatnya adalah wahyu Allah yang tertulis,
sedangkan hadits merupakan penjelasan dari rasul terhadap wahyu Allah itu.
Akal, dipihak lain hanya digunakan sebagai alat untuk memahami apa yang
dimaksud oleh wahyu Allah itu. Dengan demikian, hukum dalam Islam dapat
digolongkan sebagai “divine law”,
hukum yang bersumber pada wahyu Tuhan.[13]
Sebenarnya,kelompok
yang berpendapat bahwa ijtihad merupakan sumber hukum sekalipun, pada dasarnya
mengakui Alquran Hadis sebagai sumber utama ajara Islam. Dasar berpikir utama
bagi mujtahid adalah Alquran dan Hadits. Karena itu, dapat dikatakan bahwa
ijtihad hanyalah metode untuk memahami kedua sumber utama tersebut. Hal ini
dapat dikuatkan dengan menelusuri pemggunaan kata ra’yudalam sejarah fiqih. Kata yang terakhir disebut digunakan oleh
generasi awal Islam,dalam hal ini para sahabat Nabi, sebagai metode untuk memahami
Alquran dan Hadits. Para ahli fiqih pasca shahabat pun menjadikan ra’yu sebagai metode memahami kedua
sumber utama tersebut.[14]
D.
Obyek Ijtihad
Menurut Al-Ghazali, objek ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak
memiliki dalil yang qathi. Dari pendapatnya itu, diketahui ada permasalahan
yang tidak bisa dijadikan objek ijtihad.Dengan demikian, syariat Islam dalam
kaitannya dengan ijtihad terbagi dalam dua bagian:
1. Syariat yang tidak boleh dijadikan ijtihad, yaitu hukum-hukum
yang telah dimaklumi sebagai landasan pokok Islam, yang berdasarkan pada
dalil-dalil yang qathi’, seperti kewajiban melaksanakan shalat, zakat, puasa,
ibadah haji atau haramnya melakukan zina, mencuri dan lain-lain. Semua itu
telah ditetapkan hukumnya di dalam Al-Qur’an dan as sunnah.
2. Syariat yang bisa dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum yang
didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat zhanni, baik maksudnya, petunjuknya,
ataupun eksistensinya (subut), serta hukum-hukum yang belum ada nash-nya dan
ijma para ulama.
Apabila ada nash yang berkeadaannya masih zhanni, hadis ahad
misalnya, maka yang menjadi lapangan ijtihad diantaranya adalah meneliiti
bagaimana sanadnya, derajat para perawinya, dan lain-lain. Dan nash yang
petunjuknya masih zhanni, maka yang menjadi lapangan ijtihad, antara lain
bagaimana maksud dari nash tersebut, misalnya dengan memakai kaidah ‘am, khas,
mutlaq muqayyad, dan lain-lain. Sedangkan terhadap permasalahan yang tidak ada
nash-nya, maka yang menjadi lapangan ijtihad adalah dengan cara menggunakan
kaidah-kaidah yang bersumber dari akal, seperti qiyas, istihsan, mashalah
murshalah, dan lain-lain. Namun permasalahan ini banyak diperdebatkan
dikalangan para ulama. (ilmu ushul fiqh : 106)[15]
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Ijtihad
adalahsebuah usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan berbagai metode
yang diterapkan beserta syarat-syarat yang telah ditentukan untuk menggali dan
mengetahui hukum Islam untuk kemudian diimplemasikan dalam kehidupan
masyarakat.
2.
Sebagai fuqaha berpendapat, bahwa berijtihad itu hukumnya
wajib dan di antara alasan yang dikemukakan dalam: Al- Quran, sunnah, pendapat
sahabat, pendapat para Iman mujtahid.
3. Ijtihad telah dapat dibuktikan
keampuannya dalam menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi oleh umat Islam,
sejak masa awal Islam sampai pada masa
keemasannya. Melalui ijtihad masalah-masalah yang baru dan tidak terdapat dalam
Alquran dan Hadits dapat dipecahkan oleh para mujtahid
4. Objek ijtihad adalah setiap hukum
syara’ yang tidak memiliki dalil yang qoth’i. Syariat yang tidak boleh
dijadikan lapangan ijtihad yaitu, hukum-hukum yang telah dimaklumi sebagai
landasan pokok Islam, yang berdasarkan pada dalil-dalil qoth’i, seperti
kewajiban melaksanakan rukun Islam, atau haramnya berzina, mencuri dan
lain-lain.Syariat yang bisa dijadikan lapangan ijtihad yaitu hukum yang
didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat zhanni, serta hukum-hukum yang belum
ada nash-nya dan ijma’ para ulama.
DAFTAR
PUSTAKA
Hasan,
M. Ali. 1995. Perbandingan Mazhab.Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada.
Jamil,
Fathurrahman Haji. 1995. Metode Ijtihad
Majlis Tarjih Muhammadiyah.
Jakarta:
Logos Publishing House.
Koto,
Alaiddin Haji. 2011. Ilmu Fiqh dan Ushul
Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers.
Ma’shum,
Saefullah. 1994. Ushul Fiqh. Jakarta:
Pustaka Firdaus.
Qardlawy, M.
Yusuf al-. 1987. al-Ijtihadfi al-Syari’at
al-Islamiyat Ma’a Nazharat
Tahliyat fi al-Ijtihad
Ma’ashir, Dar al-Qalam ,
Kuwait
Syathori,
Achmad Haji. 1998. Ijtihad dalam Syariat
Islam.Jakarta: PT Bulan Bintang
Zahrah, Muhammad Abu.
1985. Ushul al-Fiqh, Darul Fikri
al-Araby, Mesir.
[1] M.
Yusuf al-Qardlawy, al-Ijtihadfi
al-Syari’at al-Islamiyat Ma’a Nazharat Tahliyat fi al-Ijtihad Ma’ashir, (Kuwait:
Dar al-Qalam,1987) diterjemahkan oleh Drs. H. Achmad Syathory, Ijtihad
dalam Syariat Islam, (Jakarta
: PT Bulan Bintang,
1987) h.1
[2]
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Kairo:
Dar al-Araby,1985) diterjemahkan oleh Ma'shum, Saefullah. Ushul Fiqih, ( Jakarta: Pustaka Firdaus 1994)
h.379
[3] H.
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh Ushul Fiqh, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2011) h.127
[4] H.
Alaiddin Koto, loc.cit
[5]
Ma'shum, Saefullah. Ushul Fiqih,
loc.cit. h.379
[6] H.
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh, op.cit.
h.127
[7]
Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahannya, (Surabaya:
Halim) h.769
[8] M.
Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada,1995) h.42
[9] M.
Ali Hasan, loc.it. h. 43
[10]
M. Ali Hasan, op.it. h.44
[11]
M. Ali Hasan, op.cit. h.45
[12]
Iqbal, Reconstruction of Religious
Thought in Islam, (India: Kitab Bavan, 1981) lihat juga H. Fathurrahman
Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih
Muhammadiyah,(Jakarta: Logos Publishing House,1995) h.19
[13]
H. Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad
Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos Publishing House) h.20
[14]
H. Fatthurrahman Djamil. loc.cit. h.28
Tidak ada komentar:
Write komentar